image: pixshark.com

Menyoal Keamanan Pangan

Setiap tanggal 7 April selalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Untuk tahun 2015 ini, World Health Organization (WHO)-Lembaga Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil tema Keamanan Pangan (Food Safety).

Tema ini diambil berdasarkan temuan WHO sendiri yang menunjukkan bahwa sekitar 2 juta korban meninggal dunia setiap tahunnya akibat makanan dan minuman yang tidak aman, terutama anak-anak. Kemudian 1,5 juta anak meninggal setiap tahunnya dan sebagian besar karena makanan dan minuman yang tercemar.

Temuan lainnya bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya dapat terjadi sekitar 1,5 miliar gangguan kesehatan karena makanan (foodborned disease), atau yang biasa kita kenal dengan keracunan makanan. Makanan dapat mengandung bakteri, virus, parasit atau bahan kimia yang berbahaya yang menjadi penyebab lebih dari 200 jenis penyakit. Gangguan kesehatan dapat berupa diare, gangguan lambung, meningitis, hepatitis A dan bahkan kanker.

Jika ditilik lebih jauh lagi, kelompok yang paling rentan mengalami penyakit karena makanan yang tidak aman ini adalah kelompok yang rendah daya tahan tubuhnya seperti bayi, ibu hamil, mereka yang sedang sakit serta lansia.

Untuk konteks Indonesia, kita sudah memiliki definisi sendiri tentang keamanan pangan ini yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Ketika sudah diatur di dalam UU artinya ada perhatian yang diharapkan besar diberikan pemerintah untuk persoalan keamanan pangan ini. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa persoalan terutama persoalan kesehatan karena ketidakamanan pangan di Indonesia masih memprihatinkan.

Tahun 2014 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI, sudah menyelesaikan Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI). Dari survei ini diketahui  data skala nasional tentang konsumsi masyarakat sehari-hari. Menurut survey ini, setiap tahun di Indonesia ada sekitar 200 laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan.

Temuan lainnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa untuk tahun 2015, masalah keamanan masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dimana es batu, bakso berformalin, dan sirup berwarna merupakan tiga pangan berbahaya yang masih beredar di pasar dan dikonsumsi masyarakat.

Sebagai gambaran, data BPOM menunjukkan semester pertama tahun 2015 saja menunjukkan, sebanyak 10 insiden keracunan pangan oleh pangan jasaboga dengan korban 559 orang, 6 insiden keracunan rumah tangga dengan korban 255 orang dan 1 orang meninggal, 5 insiden keracunan pangan jajanan dengan korban 94 orang, 1 insiden keracunan pangan dalam kemasan dengan korban 17 orang dan 1 insiden keracunan pangan restoran dengan korban 2 meninggal dunia.

Dikarenakan begitu pentingnya keamanan pangan ini maka semua pihak harus serius menanggapinya. Pemerintah harus menjamin penyediaan pangan selalu aman dengan jumlah kontaminan dalam pangan yang seminimal mungkin tanpa melewati ambang batas yang diizinkan. Selain itu, pemerintah harus bisa menjamin produk-produk makanan dan minuman yang beredar di masyarakat adalah benar makanan yang sudah bisa dipastikan aman dikonsumsi karena telah melalui uji keamanan makanan sebelum dilepas ke pasaran. Terkait ini BPOM adalah pihak yang diberi tanggung jawab melaksanakan tugas tersebut.

Mengingat persoalan keamanan pangan ini adalah persoalan bersama dan penting yang memiliki dampak berlapis,  maka selain pemerintah, masyarakat dan dimulai dari keluarga juga harus mengambil peran. Pemahaman mengenai pangan yang aman harus dimulai dari lingkungan keluarga. Mulai dari pemilihan bahan pangan, pengolahan hingga kebersihan peralatan yang digunakan harus menjadi perhatian.

Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com

Komentar