Menyoal Inklusi dan Literasi Keuangan

Pasca resmi terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2019-2024, Joko Widodo-Maruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) mempunyai agenda pekerjaan rumah (PR) yang cukup besar, yakni akses dan edukasi keuangan atau disebut inklusi dan literasi keuangan di tengah bergulirnya ekonomi digital yang tumbuh dengan pesat.

Inklusi keuangan didefinisikan sebagai akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan yang bermanfaat dan terjangkau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun usahanya dalam hal ini transaksi, pembayaran, tabungan, kredit dan asuransi yang digunakan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan (World Bank, 2016).

Lebih lanjut, literasi keuangan dapat diartikan sebagai pengetahuan dan pemahaman atas konsep dan risiko keuangan, berikut keterampilan, motivasi, serta keyakinan untuk menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya tersebut dalam rangka membuat keputusan keuangan yang efektif, meningkatkan kesejahteraan keuangan (financial well being) individu dan masyarakat, dan berpartisipasi dalam bidang ekonomi (OECD, 2016).

Hematnya, inklusi keuangan diartikan sebagai ketercakupan keuangan sampai lapisan bawah, sedangkan literasi keuangan adalah kondisi di mana seseorang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang keuangan atau edukasi keuangan.

Potret Inklusi Keuangan Kita

Mengutip data Bank Dunia dalam Global Financial Inclusion Index (Findex) menunjukkan orang dewasa yang telah memiliki rekening bank di Indonesia pada 2017 lalu hanya 48,9 persen (World Bank, 2017). Sementara itu, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada tahun 2016 kemarin tingkat inklusi keuangan Indonesia mencapai 67,8 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini memang mengalami peningkatan sebesar 8,1 jika dibandingkan dengan tahun 2013 (Kontan.co.id, 15/07).

Sehimpun fakta ini nyatanya menyiratkan makna bahwa masih adanya jurang yang cukup besar antara pencapaian dan target yang harus didaki pemerintah. Kemudian, persentase pertumbuhan tingkat inklusi keuangan setiap tahunnya juga masih rendah, yakni masih di kisaran 2,6 persen per tahun.

Tahun 2019 ini pun menjadi semakin berat dengan adanya proyeksi OJK yang mengestimasi bahwa tahun 2019 ini tingkat inklusi keuangan hanya akan mencapai 65 persen (Katadata.co.id, 24/09).  Target yang di setting pemerintah menjadi sangat sulit untuk dicapai. Oleh karena itu, pemerintah harus bahu-membahu untuk mengejar ketertinggalan target tersebut.

Apa Kabar Literasi Keuangan Kita?

Pada prinsipnya inklusi keuangan dibutuhkan Indonesia agar masyarakat Indonesia yang belum terjamah ke dunia perbankan dapat memiliki kesempatan tersebut. Lebih lanjut, semakin tingginya angka inklusi keuangan akan bermultiplier terhadap bertambahnya sumber dana untuk pembiayaan pembangunan nasional hingga meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Ibarat dua mata uang yang bertalian, maka inklusi keuangan tidak dapat berdiri sendiri. Inklusi keuangan yang tinggi harus digandeng dengan tingkat literasi keuangan yang baik juga.

Berdasarkan informasi dari laporan Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (2017), pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai literasi keuangan khususnya dalam kategori “well literate” yaitu sebesar 29,7 persen dari total penduduk. Per definisi, kategori “well literate” yang dimaksud adalah kondisi di mana seseorang memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga, produk dan layanan jasa keuangan, serta keterampilan dalam mengetahui fitur, manfaat, risiko, hak dan kewajiban dari produk dan layanan jasa keuangan tersebut (SNLKI, 2013).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Mastercard pada tahun 2013 di tingkat negara-negara kawasan ASEAN, Indonesia memiliki indeks literasi (IL) keuangan sebesar 60 poin, sedangkan Singapura memiliki IL 72 poin, Malaysia 70 poin, Thailand 68 poin, dan Vietnam 63 poin. Artinya, dari negara-negara tetangga satu kawasan, Indonesia masih cukup jauh tertinggal dalam hal literasi keuangan (Fadilah, 2016).

Data-data di atas menyiratkan sebuah fakta lain. Dibalik melejitnya angka inklusi keuangan Indonesia, nyatanya kita masih memiliki PR lain yang juga harus dibenahi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa literasi keuangan merupakan life skill bagi setiap individu agar mereka dapat merencanakan dan mengelola keuangan dengan baik untuk mencapai kesejahteraan. Jomplangnya persentase antara inklusi dan literasi keuangan (67 persen banding 29 persen) membuat pemerintah khususnya melalui OJK harus bekerja keras menyejajarkan keduanya. Inklusi dan literasi keuangan harus seimbang.

Harus Seimbang

Persoalan inklusi dan literasi keuangan membuat banyak pihak harus mengernyitkan dahi. Nyatanya untuk mencapai target masyarakat yang dapat mengakses ke perbankan dan juga teredukasi dengan baik tidaklah mudah. Oleh karena itu, ke depan masyarakat jangan hanya diberikan akses, namun juga harus disertai edukasi.

Dengan banyaknya masyarakat yang melek literasi keuangan akan mendorong intelektualitas masyarakat. Artinya, masyarakat tidak hanya mengetahui produk keuangan seperti tabungan, polis asuransi, investasi, deposito, dan sebagainya, namun juga paham mengenai risiko yang akan diterima dari masing-masing instrumen keuangan. Hal ini sangat penting agar masyarakat tidak salah kaprah dan tidak terkena jebakan instrumen keuangan bodong. Dengan seimbangnya tingkat inklusi dan literasi keuangan, maka perlindungan nasabah dapat dilakukan secara nano prudential, yang berasal dari diri nasabah itu sendiri.

 

  1. Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar