Beberapa minggu lalu, terjadi serangkaian kebakaran hutan di daerah Riau yang memiliki 92 titik api (BNPB,2013). Meskipun saat ini, dampak kabut asap yang ditimbulkannya sudah mulai berangsur hilang, namun masih meninggalkan PR bagi pemerintah kita. Bukan hanya bagaimana mematikan semua sumber api kebakaran tersebut, tetapi juga bagaimana memastikan melalui serangkaian kebijakan untuk mencegah hal ini terjadi lagi.
Jangka panjang dan jangka pendek menyikapi kebakaran hutan. Untuk jangka Panjang, tidak bisa tidak kita harus melihat kembali ke sistem kelola kehutanan kita sendiri.
Undang-undang (UU) yang dijadikan acuan terkait persoalan-persoalan kehutanan yang utama adalah dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Terkait perijinan di kawasan hutan, ijin-ijin yang selama ini diberikan ada dua yaitu; pertama, ijin pemanfaatan kayu yang kemudian diberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan, kedua ijin pemanfaatan kawasan, misalnya digunakan untuk ekowisata.
Terkait kebakaran hutan Riau, kebakaran terjadi juga di areal produksi perusahaan-perusahaan yang sudah mengantongi HPH dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan ini biasanya bergerak di sektor perkebunan sawit dan tambang, namun dominannya adalah di sektor perkebunan sawit.
Pembakaran lahan selesai proses produksi agar bisa mengurangi biaya operasional jamak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH ini. Selain persoalan asap sebagai akibat dari proses pembakaran ini, terjadi juga degradasi fungsi hutan yang mempengaruhi air dan berbagai sumber daya alam di hutan tersebut.
Persoalan ini jugalah sebenarnya yang mendasari lahirnya Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Moratorium Pemberian Ijin Baru di Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut. Seperti kita ketahui moratorium ini diperpanjang hingga bulan Mei 2014 nanti.
Artinya, masa moratorium ini adalah momen yang sangat tepat untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia, sehingga hutan dan segala aktivitas di dalamnya tidak kontraproduktif dengan fungsi utama hutan untuk menjaga keseimbangan alam dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Hal yang bisa dilakukan selama moratorium ini, adalah melakukan evaluasi terhadap semua perijinan yang telah dikeluarkan baik oleh Menteri Kehutanan maupun oleh pemerintah daerah di berbagai tingkatan, serta menerapkan sanksi ke perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran, misalnya bagi pelaku pembakaran lahan. Hal ini untuk mencegah bencana asap yang sekarang terjadi, tidak terjadi lagi.
Pekerjaan ini memang besar dan tidak sederhana, namun dengan adanya Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang memiliki Satuan Tugas (Satgas) khusus di bidang kehutanan, yaitu Satgas REDD+, harusnya hal ini dapat dilakukan.
Sedangkan untuk jangka pendek, para pelaku pembakaran hutan, individu maupun korporasi harus dijerat. Sudah ada perangkat hukum terkait ini yaitu UU NO. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Diatur di dalamnya bahwa pembakar hutan, baik perorangan maupun perusahaan, dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara dan didenda Rp. 10-15 Milyar.
Meskipun implementasi peraturan perundangan ini masih belum terdengar, tidak ada salahnya “momentum” kebakaran hutan Riau yang menjadi kisruh di tingkat daerah, nasional dan regional dipergunakan sebaik-baiknya.
Akhirnya, catatan penting agar langkah jangka pendek maupun panjang ini bisa terlaksanan, diperlukannya koordinasi dan komunikasi yang intensif, bukan hanya antar kementerian dan lembaga terkait, namun juga dengan pemerintah daerah, masyarakat sipil dan perusahaan-perusahaan yang sudah mengantongi HPH itu sendiri.
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com