Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan Yusril Ihza Mahendra terkait uji materi Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, khususnya tentang Presidential Thereshold (PT).
MK menolak gugatan Yusril dengan alasan permohonan pemohon untuk menafsirkan pasal 3 ayat 4, pasal 9, pasal 14 ayat 2, dan pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diterima. Sehingga MK menolak permohonan permohon untuk selain dan selebihnya (BBC Indonesia, 20/3).
Keputusan MK ini berimbas kepada konstelasi politik menjelang pemilu 2014. Dengan masih dipakainya syarat PT, 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, maka calon yang akan tampil di pilpres nanti diprediksi hanya 2-3 pasangan calon. Di sisi yang lain peluang koalisi juga akan semakin terbuka. Lantas bagaimanakah peta politik menjelang pemilu 2014?
Melihat hasil survei di awal tahun 2014 atau satu bulan mendekati Pemilu 2014, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan PDIP masih menjadi yang terdepan dengan memperoleh 16,5% suara. Diikuti oleh Partai Golkar 15%; Partai Demokrat 10,4%; Gerindra: 8,6%; PKB 7,7%; PPP 5,5%; PAN 4,8%; PKS: 4,5%; Hanura 4,1%; NasDem 3,8%; PBB 1,2%; dan PKPI: 0,3% (detik.com, 10/3).
Selanjutnya hasil survei Charta Politika Indonesia mengenai elektabilitas partai di Pemilu Legislatif 2014, juga menunjukkan PDIP diurutan pertama dengan mendapatkan 21,2 % suara. Kemudian diikuti oleh Partai Golkar 16,4 %; Gerindra 12,0%; Partai Demokrat 8,0%; PKB 7,2 persen; PPP 5,1%; Partai Hanura 4,8%; PAN 4,5%; PKS 3,2%; NasDem 2,6%; PBB 0,4%; PKPI 0,1% (detik.com, 26/3).
Berdasarkan data berbagai hasil survei diatas, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat diprediksikan akan menjadi empat besar dalam Pemilu 2014. Partai-partai tersebut dapat saja langsung mencalonkan capres dan cawapresnya, asalkan lolos dari ketentuan PT.
Namun jika tidak mencapai 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Maka mereka harus segera menentukan koalisi dengan partai-partai menengah, dengan syarat memasangkan capresnya dengan cawapres yang berasal partai koalisi. Sedangkan bagi partai-partai menengah, yang mendapatkan suara kurang dari ketentuan PT, mereka harus berkoalisi dengan partai besar maupun dengan partai menengah lainnya.
Kini di tengah kampanye terbuka Pemilu 2014, sinyalemen penjajakan koalisi dilakukan oleh seluruh partai politik. Sebagai contoh, Pertemuan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh dengan Ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri di ruang VVIP Bandara Juanda, Surabaya (antarajatim.com,17/3). Kehadiran Ketua Umum PPP Suryadharma Ali di tengah acara kampanye terbuka Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno (merdeka.com, 23/3).
Selanjutnya, pernyataan politisi PKB Marwan Jafar yang mengatakan ada kecocokan antara basis massa PKB dengan PDIP. Sehingga pintu koalisi antara PKB dan PDIP terbuka (republika.co.id, 25/3). Pertemuan antar elite partai di tengah hiruk pikuk kampanye semakin menunjukkan sinyalemen tersebut.
Penjajakan antar parpol dapat saja berlanjut kepada koalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres. Saat ini penulis melihat koalisi antara PPP dan Gerindra sangat berpeluang terbuka. Begitupula koalisi antara PDIP dengan PKB, Partai Nasdem, dan PBB. Kemudian Partai Demokrat, PAN, dan PKPI dapat saja berkoalisi dikarenakan kedekatan diantara parpol tersebut. Sedangkan Partai Golkar kemungkinan akan berkoalisi dengan PKS. Walaupun kecenderungannya Partai Golkar sebagai partai yang selalu ikut dalam pemerintahan, akan menunggu momentum ikut gerbong koalisi pemenang.
Peluang koalisi sangat terbuka terjadi diantara parpol peserta pemilu. Secara resmi semua parpol akan memutuskannya setelah hasil pemilihan legislatif tanggal 9 April mendatang. Namun, yang menjadi catatan dalam melihat koalisi ini. Pertama, koalisi harus efektif dalam membangun dukungan politik baik di kabinet dan di parlemen. Kedua, parpol yang kalah dalam diharapkan menjadi oposisi yang permanen dalam parlemen sehingga ada pembeda yang tegas parpol oposisi dan pendukung.
Arfianto Purbolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com