image: www.shutterstock.com

Menendang Birokrasi Bermental Priayi

David Krisna AlkaKala peringatan ulang tahun Korpri Jokowi pernah menyerukan supaya aparatur sipil lebih cepat melayani rakyat. Kata Jokowi, aparatur sipil negara segera melakukan perubahan mental dengan menanggalkan mental priayi dan mulai memupuk tradisi melayani rakyat sebagai pamong. Dengan pelayanan yang prima diharapkan mendorong kesejahteraan masyarakat. Begitulah kira-kira.

Nah, soal mental birokrasi ini, Brouwer punya cerita. Alkisah, di Inggris ada kecurigaan bahwa pegawai bekerja sangat lamban. Seorang pembeli perangko menunggu lama di muka loket kantor pos, tetapi akhirnya dia mendapat perangkonya juga. Setelah ia mengamat-amati segel perangko itu, ia nyeletuk:
“Lho, perangko-perangko ini kok bergambar Ratu Elisabeth!”. “Ya goblok, ratu kita sekarang ialah Elisabeth” kata si pegawai pos. “Oh, soalnya saya tadi menunggu begitu lama hingga saya takut kalau-kalau Ratu Elisabeth sekarang sudah turun takhta dan telah digantikan oleh Pangeran Charles” kata si pembeli.

Sebenarnya, kisah ini lekat dengan budaya birokrasi kita yang lelet dan mentalitasnya berorientasi kepada atasan. Hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan sampai merendahan diri, dan mengutamakan kesenangan atasan (mentalitas ‘asal bapak senang’, ABS).

Katanya kini budaya kerja pemerintahan yang bermental priayi itu sedang diperbaiki oleh pemerintahan baru. Memanglah Jokowi seorang presiden, tapi jalannya pemerintahan tetap saja lebih banyak diurus oleh menteri-menteri dan pegawainya. Kalau mental kepegawaian rapuh, tidak cakap dan malas, negara pasti saja akan kacau. Soalnya, kepegawaian yang tidak mampu bekerja ialah penyakit yang membawa ‘maut’ bagi bangsa ini.

Seorang pegawai bisa merasa seperti seorang raja kecil, berdiri di belakang loket dan orang yang membutuhkannya dapat ia perlakukan semena-mena. Setiap atasan pasti ada bawahan, dan bawahan juga ingin punya bawahannya sendiri sehingga menjadi atasan dari bawahan itu. Jadinya jumlah pegawai naik tidak seirama dengan bertambahnya volume pekerjaan. Malah volume uang naik untuk membiayai kepegawaian yang seperti itu. Akibatnya ialah banyak hal yang tidak berarti apa-apa dikerjakan.

Lagi Brouwer punya cerita menarik. Ceritanya begini. Seorang pegawai bertanya kepada atasannya. “Pak apakah surat itu dapat dibuang?” “Ya dapat, tetapi sebelum dibuang buatlah dulu suatu tembusan dari surat itu” jawab atasannya.

Berangkat dari kisah Brouwer itu, kultur pejabat dan pegawai memerlukan organisasi pemerintahan yang ditata dengan manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien. Bukan malah pejabat pemerintah yang kerjanya sekadar menggoyangkan kaki di bawah meja saja dan main tunjuk dan perintah begitu-begini saja.

Memang, menjadi pejabat pemerintah atau pegawai pemerintah macam-macam godaannya. Terkadang menjadi pejabat bisa membuat seseorang tampil bersahaja, gaya hidupnya berubah, menjadi bijak, dan mengorbankan hidupnya untuk kesejahteraan bersama.

Pada saat yang bersamaan, tatkala seseorang menjadi pejabat pemerintahan bisa juga menjadi arogan, suka menginjak, dan berpikiran sempit hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Padahal, kekuasaan itu adalah to get things done, kesanggupan mengurus sesuatu, mengurus negara dan masyarakatnya menjadi lebih beradab, makmur, dan sejahtera.

Karena itu, sudah betul apa kata Jokowi, mental birokrasi priayi mestilah ditendang. Begitulah kira-kira. Apakah sekarang sudah terlaksana atau belum mari kita awasi bersama.
David Krisna Alka, Research Associate di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. davidkrisna@gmail.com

Komentar