Mendorong Penguatan Kelembagaan Partai Politik Menuju Pemilu 2024

Awal tahun 2023 ini, dinamika politik nasional diwarnai dengan perdebatan terkait kembali digunakannya sistem proporsional tertutup untuk pemilihan legislatif (Pileg). Hal ini dimulai dengan adanya gugatan uji materi terhadap sistem pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI) (tribunnews.com, 8/1/2023). Uji materi tersebut kemudian mendorong perdebatan di antara para partai politik (parpol) yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang penerapan kembali sistem proporsional tertutup atau tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2024.

Delapan dari sembilan parpol di DPR RI menyatakan sikap menolak pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional tertutup. Kedelapan parpol itu yakni Partai Gerindra, Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Delapan partai tersebut berargumen, sistem proporsional terbuka yang diterapkan di pemilu Indonesia saat ini merupakan kemajuan demokrasi sehingga tak seharusnya diganti. Sedangkan satu parpol yaitu PDI Perjuangan tidak ikut menyatakan sikap menolak pemilu sistem proporsional tertutup (kompas.com, 9/1/2023).

Melihat dinamika di atas, sesungguhnya yang menjadi persoalan mendasar adalah bukan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau merubah kembali ke sistem proporsional tertutup, karena bangsa ini telah mempraktikkan kedua sistem tersebut dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Tentunya masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Berikut ini beberapa kelebihan dan kekurangan dari kedua sistem tersebut (Purbolaksono, 2016).

Kelebihan sistem proporsional terbuka yaitu, pertama, sistem ini dianggap lebih demokratis dibandingkan dengan sistem tertutup. Karena pemilih dapat secara langsung mengenal calon anggota legislatif yang nanti akan mewakilinya. Kedua, pemilih dapat secara langsung memilih calon yang sesuai dengan pilihannya. Ketiga, adanya ikatan antara pemilih dan anggota legislatif. Keempat, persaingan di internal partai dapat meningkatkan infrastruktur partai politik itu sendiri.

Sedangkan kelemahan sistem proporsional terbuka yaitu, pertama, dengan sistem terbuka, yang akan tampil pada Pemilu hanyalah orang-orang yang cukup dikenal masyarakat atau populer. Kedua, lemahnya kaderisasi parpol. Dengan sistem terbuka maka terbuka ruang bagi siapapun yang memiliki popularitas dan finansial untuk mencalokan diri dari suatu partai. Hal ini sesungguhnya membuat lemah kaderisasi dan ideologisasi partai.

Ketiga, meningkatnya pembiayaan kampanye. Dengan meningkatnya persaingan di internal partai, maka berkorelasi dengan meningkatnya biaya kampanye calon anggota legislatif. Keempat, meningkatnya politik uang. Praktik politik uang sangat subur pada masa kampanye dan jelang pemilu.

Di sisi yang lain, kelebihan sistem proporsional daftar tertutup adalah pertama, partai memiliki wewenang penuh terhadap penentuan calon anggota legislatif. Kedua, membuka peluang bagi seseorang yang tidak populer untuk menjadi anggota legislatif. Ketiga, pembiayaan kampanye yang lebih murah dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka. Keempat, rendahnya praktik politik uang.

Sedangkan kelemahan dari sistem proporsional tertutup, yaitu, pertama, kedaulatan rakyat tergantikan dengan kedaulatan di tangan elite partai. Kedua, pemilih tidak merasa memiliki ikatan terhadap anggota legislatif. Ketiga, rendahnya partisipasi politik masyarakat. Keempat, rendahnya dinamika persaingan di internal partai.

Seperti yang telah disampaikan di atas, kedua sistem proporsional terbuka maupun tertutup memiliki kelemahan dan kelebihan. Saat ini yang menjadi persoalan penting adalah perbaikan kelembagaan partai politik itu sendiri. Berdasarkan studi The Indonesian Institute (2021), terdapat persoalan kelembagaan di internal partai politik, yaitu, pertama, masalah rekrutmen politik. Saat ini, rekrutmen partai politik tidak berdasarkan pada sistem merit dan cenderung didominasi oleh beberapa elit. Selain itu, rekrutmen politik juga sangat determinan pada faktor kemampuan finansial seseorang.

Kedua, persoalan inklusi kaum muda dalam partai politik. Tingkat keberhasilan kandidat yang berusia muda sangat rendah di parlemen. Selain itu, isu lainnya adalah sejumlah besar anggota parlemen muda tersebut memiliki relasi kerabat dengan aktor politik yang berpengaruh. Para politisi muda hanya menjadi aktor penjaga status quo kekuasaan yang sudah mapan.

Di sisi lain, keterlibatan anak muda terhadap partai juga sangat rendah. Hal ini menilik dari hasil angket yang dilakukan oleh The Indonesian Institute pada 5 Desember hingga 19 Desember 2022, dari 94 responden, mayoritas atau 91.49 persen anak muda tidak ikut partai politik. Sedangkan, yang ikut, tetapi hanya menjadi anggota biasa sebanyak 5.32 persen dan yang ikut dan terlibat dalam pengurus sebesar 3.19 persen.

Ketiga, permasalahan pendanaan partai politik. Saat ini, partai politik hanya mengandalkan pendanaan yang bersumber dari bantuan keuangan negara (APBN/ APBD) dan sumbangan dari anggota partai yang berada di parlemen dan menjadi pejabat publik. Hal ini pun belum diikuti dengan transparansi pengelolaan keuangan partai politik.

Rendahnya tingkat transparansi menjadi masalah dalam pengelolaan keuangan partai. Kondisi ini kemudian juga mendorong terjadinya korupsi politik. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dalam temuan KPK selama tahun 2004-2019, terdapat 397 anggota parpol yang terjerat kasus korupsi politik. Beberapa kasus korupsi politik diduga dilakukan untuk membantu pembiayaan partai politik.

Berdasarkan paparan di atas, pilihan untuk penerapan sistem proporsional terbuka atau tertutup harus didahului oleh perbaikan internal partai politik itu sendiri. Berikut ini beberapa rekomendasi untuk penguatan kelembagaan partai politik, yaitu, pertama, memperkuat demokrasi internal partai politik. Penguatan demokrasi di internal partai politik dengan memperbaiki mekanisme rekrutmen untuk jabatan politik.

Rekrutmen politik harus mengedepankan sistem meritokrasi, kesetaraan gender, dan keterwakilan, daripada hanya memenuhi kepentingan kekerabatan atau kelompok atau golongan, serta pertimbangan favoritisme yang selama ini sering diterapkan untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata. Melalui proses yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, diharapkan rekrutmen politik dapat benar- benar berjalan secara demokratis dengan dukungan kader yang berintegritas, berkomitmen, dan memiliki kompetensi.

Kedua, membuka rekrutmen terbuka bagi anak muda dan mendorong peran anak muda dalam struktur partai politik. Partai politik harus mengajak dan membuka ruang bagi anak muda yang seluas-luasnya untuk berkiprah dalam struktur partai tanpa harus melihat hubungan mereka dengan elit partai. Karena jika masih mempertimbangkan hubungan antara anak muda dengan elite, maka partai politik hanya melanggengkan dinasti politik semata.

Ketiga, memperkuat transparansi keuangan partai politik. Partai politik harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas untuk memperbaiki tata kelola keuangan mereka. Partai harus mengungkapkan pembiayaannya dan melaporkannya sesuai dengan ketentuan, baik pendanaan yang bersumber dari subsidi pemerintah maupun sumbangan.

 

Arfianto Purbolaksono

Manajer Riset dan Program

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar