Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Repulbik Indonesia (DPR RI) telah sepakat memilih Ekonom Destry Damayanti sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) menggantikan Mirza Adityaswara. Sebelum resmi diputuskan, Komisi XI DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) kepada Destry Damayanti.
Dalam ujian tersebut, Destry sempat mengemukakan wacana untuk melakukan redenominasi Rupiah. Menurut Destry, wacana redenominasi patut dikaji ulang, sebab kondisi nilai tukar rupiah saat ini berada di kisaran Rp14.000-an per dolar AS. Hal ini membuat nilainya tidak lagi efisien sebagai alat pembayaran (Republika, 12/07).
Sebetulnya, wacana redenominasi Rupiah bukanlah wacana baru. Jika ditelusuri, mengutip pemberitaan detikFinance (04/04/2018), redenominasi ini direncanakan sejak rezim Deputi Gubernur Senior dipegang oleh Darmin Nasution. Kemudian, dilanjutkan oleh Agus Martowardojo yang semakin menguatkan rencana redenominasi itu. Namun hingga akhir jabatan Agus, redenominasi belum juga terealisasi, RUU belum jadi dan tidak masuk Prolegnas.
Kini BI dipimpin oleh Perry Warjiyo, yang dalam paparan visi-misinya akan melanjutkan rencana redenominasi Rupiah guna menindaklanjuti kebijakan yang sudah dilakukan Agus Martowardojo. Dan, pasca terpilihnya Destry Damayanti agaknya wacana BI untuk meneruskan wacana redenominasi Rupiah akan semakin kuat.
Memaknai Redenominasi
Redenominasi mata uang adalah suatu proses dimana suatu unit baru dari uang menggantikan unit yang lama dengan suatu rasio tertentu. Hal ini dapat dicapai dengan mengeluarkan angka nol atau memindahkan beberapa desimal poin dari mata uang ke sebelah kiri, dengan tujuan untuk mengoreksi mata uang dan struktur harga, serta meningkatkan kredibilitas dari mata uang lokal (Center Bank of Nigeria, 2007).
Sederhananya, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Artinya, terdapat prosedur penghilangan nol di belakang mata uang yang sudah ada. Misalnya, dari Rp10.000 menjadi Rp10, Rp1.000 menjadi Rp1. Artinya, terjadi pengguntingan 3 angka di belakang angka utama mata uang Rupiah.
Pada prinsipnya, ada beberapa alasan mengapa sebuah negara melakukan redenominasi, mulai dari tujuan kredibilitas dan identitas terhadap politik dalam negeri dan internasional (IMF 2003; Mosley, 2005; Martinez, 2007), tekanan inflasi, efek psikologis, pengendalian terhadap mata uang dan kondisi politik dalam negeri (Cohen, 2004; Mosley, 2005; Tarhan, 2006; Lead Capital Limited, 2007).
Dalam sejarahnya, sudah ada 19 negara yang melakukan redenominasi sebanyak satu kali. Sementara, 10 negara melakukan redenominasi dua kali, terkadang dalam rentang waktu yang cukup lama seperti di Bolivia pada tahun 1963 dan 1987. Pada kasus lain, redenominasi dilakukan dalam rentang waktu yang cukup singkat seperti di Peru pada tahun 1985 dan 1991. Argentina tercatat telah melakukan sebanyak 4 kali, sementara bekas negara Yugoslavia/Serbia telah melakukan sebanyak 5 kali. Bahkan Brazil telah melakukannya sebanyak 6 kali dan merupakan negara yang paling sering melakukan redenominasi (Mosley, 2005; Martinez, 2007).
Bagaimana dengan Indonesia?
Terdapat persoalan khusus untuk kasus di Indonesia, yakni banyaknya harga jual memiliki angka ganjil. Misalnya, banyak beredar di pasaran harga yang tercetak sebesar Rp10.560, Rp11.900 dan lain-lain. Tentu melalui skema redominasi ini, harga barang-barang yang memiliki angka ganjil tadi mau tidak mau harus dibulatkan.
Ada dua cara untuk membulatkan. Pertama, dengan membulatkan ke bawah atau menurunkan harga. Kedua, dengan cara membulatkan ke atas atau menaikkan harga. Dengan skema pertama, ditinjau secara makro, jika pembulatan tersebut terjadi secara massal terhadap barang-barang secara umum, maka tidak menutup kemungkinan bahwa negara akan mengalami penurunan harga yang curam dan dikhawatirkan dapat menyebabkan deflasi.
Sementara itu, melalui skema kedua, dilihat dari kacamata yang sama, akan membuat kenaikan harga-harga khususnya pada harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa redenominasi ini bisa berdampak terhadap naiknya angka inflasi. Namun, dari dua skema yang ada, efek redenominasi ini memiliki efek yang sama, yaitu adanya guncangan harga yang dapat menimbulkan efek psikologis di masyarakat yang menilai bahwa nilai mata uang Rupiah seolah-olah nilainya menjadi kecil.
Serius dan Komprehensif
Oleh sebab itu, perlu kajian yang serius dan komprehensif dari BI untuk menyikapi isu ini. Redenominasi memerlukan stabilitas keuangan yang kokoh. Apalagi saat ini kondisi sektor keuangan Indonesia masih cukup rapuh, mengingat nilai tukar Rupiah yang sewaktu-waktu dapat terguncang lantaran adanya capital outflow dan perang dagang Amerika Serikat dan China yang masih sengit, yang dapat membuat perekonomian Indonesia tumbuh tidak stabil.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebijakan ini juga sangat diperlukan setidaknya dalam waktu dua hingga tiga tahun sebelum benar-benar diterapkan. Lalu, perlu adanya waktu penarikan mata uang lama untuk digantikan dengan mata uang baru sesudah pengurangan nol. Lebih jauh, masih diperlukan waktu adaptasi masyarakat untuk mulai membiasakan dan menerima uang baru yang diedarkan. Diprediksi proses ini memakan waktu sekitar sepuluh tahun, dengan catatan BI memang benar-benar serius dan mau mewujudkan wacana redenominasi Rupiah ini.
Oleh karena itu, jika BI akan segera mengimplementasikan kebijakan redenominasi, BI harus segera membentuk tim kajian untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai efek redenominasi. Setelah menemukan dampaknya, BI harus benar-benar memikirkan dan memitigasi efek ke depan redenominasi bagi perekonomian nasional, khususnya sabilitas perekonomian Indonesia.
Jangan sampai BI gegabah dalam membuat keputusan sehingga berpotensi membuat perekonomian Indonesia menjadi tidak stabil dengan efek guncangan harga.
Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute.