Foto: setneg.go.id

Mencermati Susunan dan Arah Kinerja Kabinet Baru

Masa transisi menuju era Jilid II Presiden Joko Widodo atau Jokowi diwarnai sejumlah demonstrasi. Rangkaian kritik tajam terlontar dari berbagai elemen masyarakat. Pasalnya, beberapa kebijakan yang diambil pemerintah belum sepenuhnya melibatkan publik. Komunikasi publik menjadi salah satu catatan merah. Belum lagi, kasus korupsi yang kembali menyeret menteri dengan kinerja yang dinilai cukup baik. Tugas besarpun menanti kabinet baru “Indonesia Maju” yang diumumkan pada 23 Oktober lalu di Istana Merdeka, Jakarta.

Pada dasarnya, susunan kabinet baik menteri dan wakil menteri menjadi kunci keberhasilan kinerja kabinet Jokowi-Ma’aruf. Jika diperhatikan dengan seksama, menteri-menteri yang berasal dari partai politik (parpol) jumlahnya tidak lebih dari 50% yaitu sebanyak 16 kursi. Sedangkan, 18 kursi diisi oleh kalangan profesional non-parpol. Hal itu cukup membawa angin segar, karena gemuknya koalisi pendukung Jokowi. Seringkali kepentingan parpol yang berbeda-beda menyulitkan langkah Presiden dalam mengambil dan mengimplementasikan suatu kebijakan. Menteri dari kalangan parpol cenderung memiliki loyalitas ganda kepada presiden dan parpol.

Menteri-menteri terpilih juga berasal dari latar belakang yang berbeda. Selain aktivis parpol, sejumlah menteri berasal dari kalangan profesional atau pengusaha termasuk milenial. Dengan susunan seperti ini, sejumlah menteri telah sesuai dengan target Jokowi. Memiliki rekam jejak yang baik dan merupakan eksekutor kebijakan berpengalaman. Namun, keberadaan eksekutor juga harus didukung oleh seorang konseptor. Seseorang yang mampu merancang ide dan rencana secara kuat dan spesifik.

Diketahui pula, terdapat sejumlah menteri yang tidak sesuai dengan kompetensi atau keahlian dan pengalamannya. Wakil menteri yang nantinya dipilih diharapkan dapat menjadi penyeimbang dan pelengkap. Beberapa menteri dengan kinerja baik juga masih dipertahankan Jokowi. Hal itu tidak lain agar visi-misi Jokowi tetap hidup. Agenda yang belum tuntas dapat dilanjutkan kembali. Dalam pidato pengumuman Kabinet Indonesia Maju, Jokowi kembali menegaskan bahwa pengembangan SDM akan menjadi agenda utama.

Seiring dengan itu, penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) juga menjadi fokus lima tahun kedepan. Bagaimanapun, berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia kedepan sangatlah kompleks. Daya saing Indonesia yang turun lima peringkat ke posisi 50 menurut laporan tahunan World Economic Forum (WEF) 2019 juga menjadi pekerjaan besar dalam hal pembangunan SDM (Liputan6.com, 09/10). Indikator yang dinilai WEF yaitu institusi, infrastruktur, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), stabilitas makroekonomi, kesehatan, keterampilan, pasar produk, pasar tenaga kerja, sistem keuangan, ukuran pasar, dinamika bisnis, dan kemampuan inovasi. Secara umum, kinerja daya saing Indonesia tidak berubah alias stagnan.

Dalam Forum Kebebasan yang diselenggarakan Suara Kebebasan bersama The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) dan Network Plus (18/10), Ninasapti, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memberikan pandangannya. Daya saing SDM yang bergantung pada kemajuan teknologi, akan semakin tertinggal bila Indonesia tidak cepat mengubah strategi. Inovasi dan kreativitas harus dikedepankan. Selain itu, adanya kesulitan mengurus perijinan bisnis, tantangan terkait Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan yang cenderung menekankan hanya pada upah minimum dan bukan tingkat kelayakan hidup harus diperhatikan pemerintah.

Arah kinerja kabinet baru Jokowi-Ma’aruf telah dijabarkan cukup jelas. Reformasi mendalam terkait SDM harus diikuti komitmen masing-masing menteri. Jokowi diharapkan dapat membangun kesepahaman dengan para menterinya, sehingga visi-misi diwujudkan dengan program yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Indikator keberhasilan implementasi kebijakan atau program juga harus dibuat secara gamblang dan mudah diukur.

Jokowi juga diharapkan agar tidak lelah mengingatkan menteri-menterinya agar kompak dan berintegritas, tidak korupsi. Bekerja bersama-sama dan menjamin kepastian hukum pada semua bidang. Belajar dari masa transisi ke Jilid II, keterbukaan informasi dan keterlibatan publik juga harus diwadahi dengan baik oleh kabinet baru. Publik juga diharapkan secara aktif melalui berbagai media dapat mengawal kinerja dan menyampaikan aspirasi yang membangun.

 

Vunny Wijaya, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

vunny@theindonesianinstitute.com

Komentar