Dalam beberapa kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sering menekankan perlunya kolaborasi dalam membangun Jakarta. Segudang persoalan Jakarta tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah semata. Namun, beragam persoalan perkotaan hanya bisa diselesaikan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Kolaborasi menjadi mantra baru yang sering diucapkan oleh gubernur baru. Baik proses pengelolaan kota yang sedang dijalaninya ataupun beberapa capaian progam kerjanya, Anies sering mengklaim keberhasilan tersebut sebagai buah dari kolaborasi antara pemerintah, warga, civitas akademika, maupun sektor swasta.
Berkali-kali pesan pentingnya kolaborasi dalam mengatasi persoalan di Jakarta disampaikan oleh Anies. Tidak jarang ia terlihat kerepotan untuk mengajak masyarakat berkolaborasi dalam persoalan klasik di Jakarta seperti kebersihan lingkungan, banjir, tata kota, dan persoalan lainnya. Sebelum lebih jauh membahas kolaborasi sebagai platform untuk menyelesaikan persoalan kota, ada baiknya kita untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kolaborasi itu sendiri.
Pemerintahan Terbuka
Kolaborasi, sebagai sebuah narasi yang digunakan oleh Anies dalam menata Jakarta, merupakan bahasa sederhana dari Pemerintahan Terbuka (Open Government). Sebuah konsep berpemerintahan yang mendorong nilai-nilai transparansi, partisipasi, responsif, dan kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, dan pihak swasta. Melalui konsep pemerintahan tersebut, warga dapat memonitor dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Titik tekannya ialah adanya pemerintahan yang terbuka dan adanya keaktifan dari warga negara. Keterbukaan dari pemerintah dapat diupayakan dengan membuka data pemerintah kepada publik. Mulai dari data terkait APBD, RT/RW, dan data-data pemerintah lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pengalaman Jakarta sebagai kota yang mencoba menerapkan Konsep Pemerintahan Terbuka dimulai sejak tahun 2016. Jakarta menjadi salah satu daerah pilot project bersama Kabupaten Bojonegoro, Kota Bandung, dan beberapa kota lainnya terkait penerapan Pemerintahan Terbuka di Indonesia. Hasil dari uji coba tersebut salah satunya ialah melahirkan aplikasi Qlue sebagai platform aduan masyarakat kepada Pemprov DKI Jakarta.
Masyarakat dengan mudah mengeluhkan persoalan publik kepada Pemprov DKI Jakarta. Jika ada persoalan, masyarakat tinggal memotret dan melaporkannya melalui Qlue. Selanjutnya tinggal Ketua RT, RW, Lurah, SKPD terkait yang memeriksa laporan tersebut dengan memerintahkan Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) untuk menindak lanjutinya. Dengan kata lain, melalui Qlue, pemerintah semakin responsif atas segala keluhan yang disampaikan oleh warga Jakarta. Disampaikan secara cepat, tanpa adanya aktivitas tatap muka dan diskusi lebih dalam terkait persoalan tersebut.
Jebakan Teknologi dalam Pemerintahan Terbuka
Melalui aplikasi pengaduan semacam Qlue, negara dituntut memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk menanggapi seluruh aduan dari masyarakat. Dalam kasus Jakarta, kehebatan pemerintah dalam merespon keluhan warga direpresentasikan dengan hasil kerja Petugas PPSU yang sering disebut sebagai pasukan oranye, pasukan biru, dan lain sebagainya. Hasilnya bisa dilihat. Banyak sungai-sungai di Jakarta mulai bersih karena keberadaan Pasukan Oranye. Taman-taman juga tertata dengan baik karena adanya Pasukan Hijau. Peran dari pasukan-pasukan lainnya juga semakin mempercantik Kota Jakarta.
Ironisnya, tidak jarang laporan dari warga bersifat fiktif dan hal-hal sepele yang tidak memerlukan bantuan Petugas PPSU. Semisal ada ban atau krikil di pinggir jalan. Kasus-kasus seperti itu sebetulnya cukup diselesaikan oleh warga dan tidak membutuhkan bantuan dari Petugas PPSU (tirto.id, 04/09/2017). Hal ini menunjukkan adanya keaktifan warga. Namun, bukan keaktifan semacam ini yang diinginkan untuk menyelesaikan kompleksitas persoalan di Jakarta. Keaktifan warga yang tidak bertanggung jawab semacam ini dapat memberatkan ekosistem Pemerintahan Terbuka.
Meluruskan Peran Negara dalam Pemerintahan Terbuka
Dengan melihat tantangan seperti yang telah disampaikan di atas tadi, perlu adanya langkah strategis dan kreatif Pemprov DKI dalam merespon keluhan warga. Pemprov DKI harus memberikan stimulus agar keaktifan warga sebagai komunitas kampung kota menjadi aktif untuk menjaga kebersihan di lingkungan mereka. Pasukan Oranye sebagai representasi negara dalam menjaga kebersihan harus tegas sampai sejauh mana mereka bergerak membersihkan lingkungan. Mereka cukup mengatasi persoalan kebersihan lingkungan di jalan-jalan protokol, sungai-sungai, dan tempat publik lainnya. Jangan sampai mereka bergerak hingga sampai pada wilayah komunitas seperti di gang-gang kecil kampung kota. Pemprov melalui lurah ataupun ketua RT/RW harus memerintahkan warga kampung kota untuk bergotong royong membersihkan lingkungan mereka sendiri.
Disinilah, titik kritis implementasi konsep Pemerintahan Terbuka. Negara harus responsif atas aspirasi masyarakat tanpa mengakuisisi ruang kerja komunitas (masyarakat) dengan cara seperti yang telah disebutkan di atas tadi. Justru, pemerintah harus menstimulus nilai-nilai kegotong-royongan ke dalam komunitas untuk menjaga lingkungannya masing-masing.
Dengan demikian, pemerintah tidak terbebani untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan oleh masyarakat. Selain itu, stimulus dari pemerintah tersebut dapat membangkitkan kepedulian warga terhadap kebersihan lingkungannya masing-masing. Dengan demikian, mimpi Ibukota akan tampil lebih cantik dapat benar-benar terealisasikan. Tidak hanya diupayakan oleh pemerintah, tetapi oleh semua warga karena kesadaran dan kepedulian bersama terhadap Jakarta.
Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute,