Kontestasi politik Indonesia di tahun 2024 mendatang menjadi menarik. Hal ini diprediksi demikian mengingat banyaknya program dan gagasan yang sudah mulai ditawarkan oleh bacapres, lengkap dengan tim pemenangan mereka masing-masing. Anies Baswedan dan tim pemenangannya tentu tak mau ketinggalan. Pada sebuah kesempatan, pasangannya yaitu Muhaimin Iskandar menyampaikan bahwa apabila Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) menang dalam Pemilu 2024, alokasi dana desa akan mereka tambah menjadi Rp5 miliar.
Janji politik yang sifatnya populis seperti ini tentu sudah menjadi komoditas yang laku keras di tahun politik. Namun, membicarakan kenaikan alokasi dana desa menjadi sesuatu yang lain. Hal ini dikarenakan, ternyata dana desa merupakan objek korupsi paling besar. Melansir data dari Indonesian Corruption Watch (ICW), setidaknya sampai dengan tahun 2021 Indonesia sudah mencapai angka 154 kasus korupsi dana desa. Dari total kasus tersebut, diperkirakan negara sudah mengalami kerugian sebesar Rp233 miliar.
Berdasarkan hal tersebut, penyaluran dana desa dalam jumlah besar, berkisar antara 1 hingga 1,4 miliar rupiah, memunculkan pertanyaan mengenai cara pengelolaannya oleh pemerintah desa. Fenomena ini semakin memprihatinkan karena ternyata sebagian besar objek keuangan desa yang terkena korupsi, yaitu sekitar 82,47%, adalah dana desa, sedangkan sisanya sekitar 17,53% adalah objek lainnya.
ICW telah melakukan pemantauan dari tahun 2015 hingga 2022, dan hasilnya menunjukkan bahwa tingkat korupsi dana desa bervariasi, tetapi cenderung meningkat secara signifikan. Pada tahun 2015, terdapat 17 kasus korupsi dana desa, yang kemudian meningkat tajam pada tahun 2016 menjadi 41 kasus. Lonjakan yang signifikan kembali terjadi pada tahun 2017 dengan 96 kasus, tahun 2018 dengan 104 kasus, tahun 2019 dengan 46 kasus, tahun 2020 dengan 44 kasus, tahun 2021 dengan lonjakan drastis menjadi 154 kasus, dan tahun 2022 dengan 155 kasus.
Tingkat korupsi yang tinggi dalam penyaluran dana desa telah menimbulkan beberapa dugaan. Pertama, ada kekhawatiran terkait kompetensi kepala desa dan staf desanya yang mungkin kurang memadai. Kedua, munculnya keraguan terkait kurangnya keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Ketiga, ada kecenderungan untuk menganggap biasa perilaku yang ini.
Dugaan ini muncul mengingat tingginya tingkat korupsi dalam penyaluran dana desa, masih berkaitan dengan implementasi Undang-Undang Desa yang memberikan pemerintah desa otonomi dalam pengelolaanya. Misalnya, mereka dapat mengalokasikan dana desa untuk program pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya desa guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemerintah desa juga memiliki wewenang untuk meningkatkan ekonomi melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), merencanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), serta melakukan pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi desa.
Penerapan kebijakan ini mengharuskan Kepala Desa dan stafnya untuk merancang persiapan yang matang terkait cara mengelola dan menganggarkan dana agar dapat digunakan dengan tepat sasaran. Dengan kata lain, selain membutuhkan sejumlah anggaran, desa juga membutuhkan pemimpin dan perangkat pemerintah desa yang berkapasitas dalam pengelolaan anggarannya.
Melihat permasalahan di atas, akan terlihat terlalu simplistik jika kita hanya berpikir bahwa meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dapat dicapai dengan cara menambah alokasi dana yang diberikan kepada mereka. Sebelum kita memutuskan untuk meningkatkan dana yang dialokasikan, langkah yang lebih bijak adalah memastikan bahwa program yang disediakan juga mampu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat desa dalam mengelola dana tersebut. Hal ini menjadi krusial karena kesejahteraan masyarakat desa tidak hanya dinilai dari jumlah dana yang diberikan kepada mereka, tetapi juga dari bagaimana dana tersebut dikelola.
Dengan memiliki masyarakat yang berkapasitas memadai, proses perencanaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dapat berjalan dengan lebih efisien. Masyarakat desa dapat berperan dalam mengidentifikasi program-program prioritas, melaksanakan pengadaan yang tepat, mengenali potensi kecurangan, menjalankan program dengan baik, dan melakukan evaluasi yang akurat. Oleh karena itu, fokus seharusnya bukan hanya pada seberapa besar alokasi dana yang disediakan, tetapi pada sejauh mana dana tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Selain itu, calon presiden perlu mempertimbangkan hasil survei atau riset sebelum menyampaikan gagasannya, termasuk memahami preferensi pemilih dalam menentukan pilihan mereka. Mengacu pada data Voxpol Center Research and Consulting, penting untuk menunjukkan bahwa potensi dukungan akan lebih besar jika calon presiden, termasuk Anies Baswedan dan koalisinya, mampu menghadirkan program yang menjanjikan kelangsungan dan perbaikan program yang sudah ada.
Berbicara tentang peningkatan alokasi dana desa juga penting untuk mempertimbangkan jumlah penduduk yang masih tinggal di desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020, sekitar 56,7% penduduk Indonesia sudah tinggal di perkotaan, dan perkiraan menyebutkan bahwa angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 70% pada tahun 2045. Data ini relevan karena berdasarkan teori perilaku pemilih, masyarakat perkotaan cenderung memiliki karakteristik yang lebih modern karena akses pendidikan dan lingkungan yang lebih beragam. Oleh karena itu, mereka akan cenderung menggunakan pendekatan rasional dalam memilih calon presiden, dan program-program populis yang bersifat “gratis” mungkin tidak lagi menarik bagi mereka.
Sebaliknya, masyarakat desa cenderung menggunakan pendekatan yang lebih sosiologis dan psikologis dalam menentukan pilihan mereka. Hal ini dapat mencakup hubungan personal, kesamaan suku, agama, dan budaya, serta nilai-nilai tradisional. Meskipun peningkatan alokasi dana desa mungkin terdengar menarik bagi sebagian masyarakat desa, kita perlu mengevaluasi kembali relevansi dari tindakan ini, mengingat tingginya kasus korupsi, keterbatasan sumber daya, dan tren urbanisasi yang terus meningkat.
Mungkin saja masih ada yang tertarik dengan tawaran peningkatan alokasi dana desa kepada masyarakat tertentu. Tetapi, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah ini masih relevan dengan kondisi saat ini? Terutama mengingat angka tinggi korupsi, keterbatasan sumber daya, dan fakta bahwa sebagian besar penduduk telah bermigrasi ke perkotaan, bahkan diperkirakan akan terus bertambah.
Felia Primaresti
Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)