Melawan Korupsi di Kala Pandemi

Menuju akhir tahun, penangkapan sejumlah pejabat publik di Kementerian Sosial (Kemensos) karena kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu kabar yang mengejutkan publik. Eks Menteri Sosial, Juliari Batubara diduga menerima fee sebesar Rp 17 miliar dari proyek bansos tersebut. Bansos yang dimaksudkan di sini adalah berupa paket sembako Rp 300.000 yang disalurkan Kemensos pada tahun 2020 dengan nilai total anggaran Rp 5,9 triliun (Kompas.com, 06/12).

Sebelum KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), pengaduan terkait bansos telah menjadi salah satu laporan yang paling banyak diterima oleh sejumlah Kementerian/Lembaga (K/L). Hal ini dipertegas oleh Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai. Menurut Amzulian (2020), dari ribuan pengaduan yang masuk ke Ombudsman, Dinas Sosial (Dinsos) merupakan instansi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat terutama terkait bansos. Adapun penyebab banyaknya aduan bansos adalah soal data yang tak akurat. Saat ini kasus dugaan korupsi ini terus diperdalam.

Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah soal kuantitas dan kualitas bansos yang diberikan, bukan hanya soal distribusinya. Berdasarkan salah satu keterangan penerima bansos yang berasal dari Jakarta, jumlah bansos yang diberikan setiap bulannya menyusut atau berkurang (pikiran-rakyat.com, 09/12). Kualitas beras yang yang diberikan juga tidak baik. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman turut menyinggung kualitas bansos dalam laporannya kepada KPK pada tanggal 16 Desember lalu. Menurut laporan yang dimiliki MAKI, beras yang dibagikan berbau apek dan sebagian berwarna kuning atau hitam (Tempo.co, 17/12).

Kementerian Sosial sebagai garda terdepan pelayanan publik, apalagi di masa krisis karena pandemi COVID-19, sebagaimana yang diberikan otoritas dalam pengelolaan dana dan distribusi bansos, selayaknya menjunjung tinggi etika pelayanan publik yang transparan dan akuntabel, serta bebas korupsi. Dugaan kasus korupsi bansos ini menjadi teguran keras akan kualitas kinerja pelayanan publik di kala pandemi. Sejumlah langkah perlu dilakukan dalam memperbaiki pengelolaan dana dan distribusi bansos COVID-19 tanpa melupakan etika pelayanan publik yang telah disebutkan sebelumnya.

Pertama, peninjauan terhadap perencanaan anggaran dan pelaksanaan distribusi bansos Kemensos perlu segera dilakukan. Upaya ini perlu diiringi dengan mengintensifkan pengawasan anggaran. Tidak hanya melalui KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) atau pengawasan internal melalui Inspektorat Jenderal Kemenson dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pegawasan ekstra juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pembentukan tim independen pengawasan anggaran serta bantuan di tingkat Pusat dan Daerah.

Adanya tim independen juga diharapkan dapat mengintegrasikan dan menganalisis berbagai laporan yang masuk terkait distribusi bansos dan memberikan masukan efektif akan program bansos COVID-19. Pandemi COVID-19 telah dan masih menelan anggaran yang sangat besar. Peningkatan pengawasan sangat perlu dilakukan untuk mencegah kejadian serupa.

Kedua, mendorong komitmen transparansi sebagai sarana akuntabilitas bansos Kemensos. Hal ini dapat dilakukan melalui publikasi laporan keuangan bansos melalui kanal resmi Kemensos. Terungkapnya dugaan kasus bansos ini menjadi salah satu prestasi KPK di kala pandemi. Namun, masih diperlukan transparansi anggaran bansos agar ke depan publik dapat mengawal dan mengawasi anggaran serta distribusi bantuan dengan lebih baik lagi.

Ketiga, perubahan strategi pemberian bansos sembako dengan bantuan sosial tunai (BST) perlu diiringi sistem kontrol. Pelaksana tugas (Plt) Menteri Sosial (Mensos) Muhadjir Effendy (2020) menyebutkan bahwa pemerintah berencana untuk mengubah skema distribusi bansos dalam bentuk sembako, menjadi Bantuan Sosial Tunai (BST) pada tahun 2021. Terkait distribusi BST, Muhadjir menyebutkan akan melibatkan Pos Indonesia, karena tidak semua penerima memiliki akun bank. Bagaimana pun, pemberian bansos melalui sembako yang melibatkan vendor atau pihak ketiga sangat rawan korupsi. Selain itu, kuantitas dan kualitasnya juga tidak bisa terjamin.

Perubahan strategi yang direncanakan ini perlu diiringi dengan sistem kontrol yang baik. Pemberian bantuan tunai juga memiliki potensi penyimpangan. Misalnya, uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bisa saja disalahgunakan penerima untuk membeli kebutuhan lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan bansos itu. Kemensos perlu memikirkan strategi kontrol yang baik agar program BST mencapai tujuannya. Hal ini dapat dimulai dengan merancang indikator keberhasilan BST.

 

Vunny Wijaya,

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

vunny@theindonesianinstitute.com

Komentar