Kemiskinan masih menjadi masalah serius di Indonesia dan dunia. Pada semester pertama tahun 2022, lebih dari sembilan persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin (BPS, 2022). Bahkan di tahun 2021 persentase penduduk miskin melebihi angka sepuluh persen atau setara dengan 27,54 juta penduduk. Sebagai upaya mengentaskan masalah tersebut, pemerintah memiliki pelbagai program seperti bantuan sosial, bantuan pendidikan, dan lain sebagainya.
Sayangnya, pelbagai program penanganan kemiskinan yang ada belum diimplementasikan dengan efektif. Studi yang dilakukan oleh Muthiah (2021) menunjukkan masih adanya ketidaktepatan sasaran penerima bantuan sosial. Banyak rumah tangga yang sudah tergolong mampu namun masih mendapat bantuan. Hal tersebut terjadi karena data kemiskinan yang tidak mutakhir. Oleh karena itu, perbaikan data kemiskinan dan kesejahteraan menjadi penting untuk meningkatkan efektifitas implementasi kebijakan.
Sejak 15 Oktober hingga 14 November 2022 mendatang, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan pendataan awal registrasi sosial ekonomi (Regsosek) di seluruh provinsi di Indonesia. Dasar hukum dilaksanakannya program tersebut diantaranya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, dan lain sebagainya. Regsosek ditujukan untuk membangun data kependudukan tunggal yang mencakup profil, kondisi sosial, ekonomi, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan data tunggal, harapannya program peningkatan kesejahteraan akan lebih terintegrasi dan efisien (BPS, 2022).
Variabel yang dikumpulkan dalam Regsosek meliputi kependudukan dan ketenagakerjaan, perlindungan sosial, perumahan, pendidikan, kesehatan dan disabilitas, serta pemberdayaan ekonomi. Kedepannya, pelbagai program pemerintah di sektor-sektor tersebut akan didasarkan pada data Regsosek. Regsosek memiliki peran penting dalam upaya reformasi sistem perlindungan sosial di Indonesia. Terlebih lagi selama ini ketersediaan data kondisi sosial ekonomi masyarakat masih timpang dan dipertanyakan validitasnya.
Masalah ketimpangan data tidak hanya terjadi di Indonesia. Data Bank Dunia (2015) menunjukkan bahwa terdapat 77 dari 155 negara yang tidak memiliki data kemiskinan yang memadai. Padahal data kemiskinan memiliki implikasi langsung pada proses pembuatan kebijakan (UN, 2017). Ketimpangan data menghambat upaya pemantauan kemiskinan baik di tingkat nasional maupun global. Penduduk miskin seringkali tidak terwakilkan secara politik. Mereka akan tetap tidak terlihat kecuali jika suatu negara memiliki data yang objektif dengan sampel yang tepat menggambarkan lokasi keberadaan dan kondisi nyata mereka (Bank Dunia, 2015).
Regsosek dapat dilihat sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menyediakan data kondisi sosial ekonomi, termasuk di dalamnya data kemiskinan yang lebih terpadu. Namun, posisi Regsosek perlu diperjelas agar tidak semakin tumpang-tindih data sosial ekonomi lainnya seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), dan lain-lain.
Agar kedepannya Regsosek dapat mengatasi masalah ketimpangan data, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pengambil data (surveyor) di lapangan harus memiliki persepsi yang sama tentang cara, definisi, dan variabel yang digunakan dalam Regsosek. Bukan hanya pengambil data saja namun juga semua sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam proses input hingga analisis data. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan atau pengarahan kepada semua SDM yang terlibat dalam proses tersebut.
Kedua, kedepannya Program Regsosek perlu dilakukan secara berkala, paling tidak satu tahun sekali, seperti periode pendataan kemiskinan di Amerika Serikat. Ketersediaan data kemiskinan yang berkala sangat berhubungan dengan efektifitas implementasi program penanganan kemiskinan dan bantuan sosial lainnya.
Ketiga, BPS bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan kementerian/lembaga lain yang terkait perlu mendesain agar Regsosek menjadi sumber data terpadu bagi pusat dan daerah. Pasalnya, salah satu masalah dalam implementasi program kesejahteraan sosial selama ini adalah adanya perbedaan antara data yang terdapat di pusat dan daerah.
Terakhir, kementerian/lembaga terkait perlu memaksimalkan pemanfaatakan teknologi digital untuk membantu proses pemutakhiran data. Tentunya dibutuhkan SDM yang mumpuni untuk mewujudkan hal tersebut. Dengan pemaksimalan teknologi digital, proses pemutakhiran data dapat dijalankan dengan lebih efektif.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)