Konflik Antar Institusi Penegak Hukum

Awal tahun 2015 sudah menghadirkan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Saat DPR RI sedang melakukan proses uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) yang dinominasikan oleh Presiden Joko Widodo, KPK menetapkan calon Kapolri sebagai tersangka korupsi.

Penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK kemudian diikuti oleh penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). BW ditangkap terkait kasus sengketa pilkada Kotawaringin Barat yang berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagai sebuah drama, calon pemimpin instansi penegak hukum justru menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Secara akal sehat, tentu hal ini menjadi rancu dan membingungkan. Seorang penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum itu sendiri.

Kejadian ini memberikan gambaran bahwa masalah penegakan hukum tidak akan ada habisnya sampai penegak hukum itu sendiri bersih dari pelanggaran hukum. Pekerjaan rumah penegakan hukum bangsa ini masih banyak dan jauh dari kata selesai.

Penegakan hukum semakin absurd jika konflik antar penegak hukum ditarik ke level institusi. Saling membongkar kasus, saling menangkap dan menahan, hingga saling berebut penanganan kasus pernah terjadi dan mungkin akan terus terjadi di Indonesia. Hal ini setidaknya terjadi karena dua faktor utama.

Pertama, politisasi penanganan kasus. Jika upaya penegakan hukum disusupi hal yang berbau politis maka sudah jelas penanganan suatu kasus akan terseret ke ranah politisasi. Hal ini ditandai misalnya dengan pengumuman tersangka suatu kasus yang menunggu momentum tertentu.

Kedua, tindakan membalas. Motif membalas antar institusi penegak hukum dengan mengangkat kembali kasus lama untuk “menggebuk” penegak hukum lain yang melakukan tindakan serupa. Penanganan suatu kasus bisa menjadi cepat atau lambat akibat faktor ini.

Baik politisasi penanganan kasus maupun tindakan membalas memiliki aktor yang menggerakkannya dan juga ada motif atau alasan yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Meski faktor-faktor tersebut sering ditampik oleh internal penegak hukum, tetapi kesan yang muncul ke publik adalah dua faktor yang telah disebutkan diatas.

Konflik antar institusi penegak hukum tentu suatu hal yang sangat disayangkan. Energi bangsa ini habis terkuras untuk suatu hal yang semestinya tidak terjadi. Baik Kejaksaan, Kepolisian, maupun KPK harus bersinergi untuk efektivitas penegakan hukum. Konflik antar institusi penegak hukum menjadi kontra produktif, terlebih upaya penegakan hukum belum berjalan secara optimal.

Asrul Ibrahim Nur, Peneliti Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. asrul.ibrahimnur@gmail.com

Komentar