Keyakinan/Ideologi Dalam Konteks Hak Asasi Manusia

Abu Ba’asyir secara tegas menolak untuk mendatangani kesetiaan terhadap Pancasila dan NKRI sebagai syarat pembebasannya. Menurutnya, Ia hanya mau setia kepada Tuhan, Allah SWT, dan tidak akan mematuhi aturan ataupun ideologi lain (CNN Indonesia, 21/012019). Penolakan Ba’asyir menandatangani janji setia kepada Pancasila merupakan sebuah keyakinan teguh yang bersangkutan berelasi dengan ideologi yang dianutnya.

Artikel ini hendak memposisikan ‘keyakinan yang dianut’ sebagai sebuah idiologi untuk kemudian dikritisi dalam konteks hak asasi manusia khususnya hak untuk berkeyakinan. Meski instrumen HAM tidak secara spesifik mengangkat (konsep) idiologi, namun idiologi yang menjadi sebuah keyakinan maka menjadi relevan untuk dikritisi dalam konteks hak asasi manusia.

Hak untuk berkeyakinan, masuk dalam cakupan HAM yang diatur dalam instrumen dan norma HAM. Hak atas berkeyakinan disandingkan dengan hak untuk beragama, sebagaimana termuat dalam Pasal 18 Kovenan Internasional hak-hak Sipil dan Politik.

Hak untuk beragama dan berkayakinan terbagi dalam dua ranah: internum (private) dan eksternum (public). Ranah internum tidak bisa dibatasi atau dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights).

Terdapat beberapa kasus di Indonesia, dimana individu yang berupaya mempertahankan keyakinannya harus masuk ke terali besi,  sebut saja kasus Lia Eden (sekte Kerajaan Tuhan), Tajul Muluk (Syiah), Ahmad Musadeq (pendiri Gafatar), Yusman Roy (salat multibahasa), Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat) (Tirto.id,25/01/2019). Semuanya harus ditahan karena keyakinan yang dianutnya dianggap melanggar Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama (Tirto.id, 25/01/2019).

Malfred Nowak, Pelapor Khusus PBB, menyebutkan, keyakinan seseorang letaknya ada dalam ‘kalbu/sanubari’, dan bersifat abstrak. Ia membedakan bentuk-bentuk implementasi atas keyakinan individu yang berada di luar pikiran (eksternum) dengan keyakinan itu sendiri (Jurnal HAM, Vol. VI/2010). Keyakinan yang diimplementasikan dan realitasnya bisa membahayakan atau merugikan pihak lain seharusnya dapat dibatasi.

Sejumlah pelaku bom bunuh diri yang mengakui melakukan ‘Jihad’ sebagai implementasi atas keyakinan yang dilakukan terbukti telah merusak dan menyebabkan kematian bagi pihak lain (Sura.co.id,18/05/2018). Ini adalah satu contoh dimana negara seharusnya hadir turun campur membatasi aktifitas implementasi dari keyakinan dimaksud.

Memperkuat Ideologi Pancasila

Pancasila sebagai landasan filsafah Bangsa Indoensia, merupakan sebuah ideologi yang sepaham dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Soekarno, bapak bangsa menyadari betul keragaman budaya, bahasa, agama dan keyakinan yang dianut bangsanya.

Lima sila merupakan formulasi yang disintesakan sebagai upaya mempererat kebhinekaan bangsa Indonesia. Sila pertama, ketuhanan yang maha esa, bermakna bahwa setiap orang seharusnya diakui atas pilihannya terkait keyakinannya, sebagaimana pilihan keyakinan yang dianut Abu Bakar Ba’asyir, Lia Eden, Tajul Muluk, Ahmad Musadeq, Yusman Roy, dan Mangapin Sibuea; Dan mereka seharunya mendapatkan perlindungan dari negara terkait keyakinan yang dianutnya.

Di garis yang sama, pancasila juga mengangkat nilai-nilai persatuan Indonesia, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat, yang berorientasi kepada terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera (makmur) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.

Implementasi keyakinan yang terindikasi memecah-belah bangsa, sebagaimana dilakukan segelentir kelompok masyarakat harus dihadapi. Terlebih yang dilakukan dengan cara kekerasan dan pemaksaan kehendak. Pada konteks ini negara wajib membatasi aktifitas-aktifitas yang memecah-belah agar tidak membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

—Yossa Nainggolan —

Komentar