Indonesia atas fitrahnya sebagai zamrud katulistiwa, memiliki potensi besar salah satunya hutan. Hutan dan kawasan hutan memiliki peran utama sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Hutan selain menyediakan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia, juga berfungsi untuk memproduksi oksigen (O2) dan menyerap karbondioksida (CO2).
Akan tetapi jika hutan mengalami perusakan, misal kebakaran hutan, maka hutan akan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar yang akan merusak dunia dan kesehatan kehidupan manusia. Di Indonesia kasus kebakaran hutan merupakan kasus yang berulangkali terjadi. Pada tahun 2015 bencana asap kembali terjadi dan kian meluas di sejumlah wilayah yakni Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat lahan yang terbakar pada tahun 2015 ada di 12 provinsi. Lahan terbakar terluas berada di Riau, mencapai 2.025,42 hektar (ha). Provinsi dengan luas lahan terbakar signifikan lainnya ialah Kalimantan Barat (900,20 ha), Kalimantan Tengah (655,78 ha), Jawa Tengah (247,73 ha), Jawa Barat (231,85 ha), Kalimantan Selatan (185,70 ha), Sumatera Utara (146 ha), Sumatera Selatan (101,57), dan Jambi (92,50 ha) (http://sipongi.menlhk.go.id). Secara grafis, rekapitulasi luas kebakaran hutan meningkat puluhan kali lipat dari tahun ke tahun. Di Jambi, misalnya, di tahun 2010, lahan terbakar hanya 2,5 ha. Tahun 2014 meningkat menjadi 34,70 ha (Kompas, 14 September 2015).
Kerugian yang terjadi akibat bencana asap pastinya tidak hanya materi, yang tak terhitung nilainya, tetapi juga kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Belum lagi puluhan ribu orang di wilayah Sumatera dan Kalimantan menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat terpapar asap. Pemerintah dinilai para ahli dan pemerhati lingkungan dan masyarakat telah abai dalam penanganan bencana asap yang terjadi hampir rutin setiap tahun ini.
Misalnya berkaitan dengan bencana asap yang terjadi di Sumatera. Pemerintah dinilai telah melakukan pembiaran terhadap perusakan ekosistem lahan gambut secara masif. Kebakaran di Sumatera menurut para ahli dan aktivis lingkungan disebabkan oleh keringnya lahan gambut setelah alih fungsi lahan. Dalam proses alih fungsi lahan gambut selalu disertai pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal. Ahli hidrologi dari Universitas Sriwijaya, Momon Sodik Imanuddin, mengatakan, akar dari kebakaran lahan gambut di Sumatera adalah adanya pengeringan berlebih dan tidak terkendali (Harian Kompas, 14 September 2015).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan bahwa jumlah titik panas di Sumatera mencapai 944 titik dan di Kalimantan 222 titik. Kebakaran hutan dan lahan pun diperkirakan masih terus berlangsung, bahkan hingga ke taman nasional (CNN Indonesia, 14 September 2015).
Sekali lagi kasus kebakaran hutan bukanlah kasus yang hanya sekali terjadi, melainkan telah terjadi berulangkali. Sejak terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar pada tahun 1982 dan rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka menangani masalah kebakaran hutan ini.
Beberapa peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan dan di dalamnya diatur mengenai sanksi yang berat bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan, yaitu Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Atau Lahan; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan; dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut pengendalian kebakaran hutan secara umum dilakukan melalui upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran yang dilakukan di tingkat nasional maupun di tingkat kesatuan pengelolaan hutan. Presiden Joko Widodo, sebagaimana dilansir oleh Koran Tempo, 23 September 2015, menginstruksikan: (1) pencabutan izin bagi perusahaan pembakar hutan, ada 7 perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka; (2) meningkatkan operasi penanganan kabut asap; (3) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) diminta terus menggelar hujan buatan dan pemadaman api dari udara; (4) mendirikan posko di 8 provinsi dan kepala daerah tetap bertanggungjawab mengendalikan kebakaran hutan dan lahan di daerahnya serta men-sosialisasikannya kepada masyarakat; (5) bahwa harus diadakan perbaikan tata kelola lahan gambut serta membuat kanal. Selain itu, diwajibkan seluruh pemilik konsesi membuat kanal.
Menurut penulis, penanganan yang dilakukan Pemerintah dalam kasus kebakaran hutan didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif (pemberantasan). Setelah kebakaran hutan terjadi barulah Pemerintah bertindak. Padahal apabila melihat faktor penyebab kerusakan hutan dan kerugian yang harus ditanggung Pemerintah akibat kebakaran hutan, seharusnya Pemerintah juga melakukan upaya preventif. Agar masalah kebakaran hutan dapat ditangani secara efektif.
Berdasarkan kajian singkat yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), DPR RI, tahun 2014, tercatat ada beberapa faktor penyebab kebakaran hutan di Indonesia, di antaranya: (1) konversi lahan, yang disebabkan oleh kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain-lain; (2) pembakaran vegetasi, yang disebabkan oleh kegiatan pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali, misalnya pembukaan hutan tanaman industri (HTI); (3) pemanfaatan sumber daya alam, yang disebabkan oleh aktivitas seperti pembakaran semak belukar dan aktivitas memasak oleh para penebang liar; (4) pemanfaatan lahan gambut, yang disebabkan oleh aktivitas pembuatan kanal atau saluran tanpa dilengkapi pintu kontrol yang memadai air sehingga gambut menjadi kering dan mudah terbakar; (5) sengketa lahan, yang disebabkan oleh upaya masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak mereka atas lahan atau aktivitas penjarahan lahan yang sering diwarnai dengan pembakaran.
Dengan mencermati faktor penyebab kebakaran hutan tersebut, penulis mengusulkan beberapa upaya preventif, antara lain, pertama, berkaitan dengan konversi lahan. Pemerintah harus mengkaji ulang izin-izin yang sudah diberikan kepada perusahaan dalam pengelolaan hutan. Misalnya konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Izin jangan diberikan dengan mudahnya, melainkan harus melalui persyaratan dan prosedur yang ketat. Strategi ini penting agar konversi lahan tidak menyebabkan deforestasi, kerusakan lahan gambut, dan emisi karbon.
Kedua, pemberdayaan masyarakat yang hidup di kawasan hutan, misalnya masyarakat adat. Pemerintah dapat meningkatkan peran masyarakat adat dalam menjaga kelestarian hutan. Strategi ini penting untuk mencegah kebakaran hutan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat selama pemanfaatan sumber daya alam. Optimalisasi peran masyarakat adat penulis nilai penting karena mereka notabene memiliki sistem pengelolaan dan perlindungan hutan serta prinsip-prinsip dalam menjaga keseimbangan alam. Hukum adat mereka juga memberikan sanksi yang tegas bagi siapa yang dengan sengaja melakukan perusakan hutan.
Ketiga, reformasi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan sangat diperlukan. Selama ini izin pemanfaatan hutan dan lahan sering tumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat adat. Konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan merupakan konflik yang paling sering terjadi. Pembakaran lahan kerap menjadi solusi bagi sekelompok pihak yang menghadapi rumitnya sengketa kepemilikan lahan dan hutan antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan.
Sementara terhadap 167 orang tersangka, dimana 10 di antaranya adalah korporasi, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Sumatera saat ini, menurut Kapolri Badrodin Haiti, harus di tindak secara tegas. Hukuman berat berupa pidana penjara dan denda menurut penulis wajib diberikan bagi pelaku kejahatan lingkungan untuk memberikan efek jera. Bagi penulis kejahatan lingkungan merupakan bentuk kejahatan luar biasa karena dampaknya sangat luas, dan merusak.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com