Jerat Karet UU ITE Pasca SKB

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dipanggil polisi terkait unggahan karikatur dua manusia berkepala tikus yang berseragam tahanan dan polisi di akun Instagram milik LBH Padang, @lbh_padang pada 29 Juli 2021 lalu (kompas.com, 13/08/2021). Pemanggilan ini berkaitan dengan unggahan akun Instagram LBH Padang, yang mengkritik penghentian penyelidikan kasus dugaan penyelewengan anggaran penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Sumatera Barat. Atas hal tersebut, LBH Padang diduga melakukan dua tindak pidana sekaligus.

Berdasarkan surat panggilan nomor SP.PGL/316/VIII/RES.2.5./2021 Ditreskrimsus, LBH Padang diminta untuk menghadiri pemeriksaan sebagai saksi terkait dugaan pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang Ujaran Kebencian dan Pasal 207 dan Pasal 208 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan penguasa negara. Pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat LBH Padang tersebut sebenarnya telah coba untuk ditafsirkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Surat Keputusan Bersama (SKB). Hal tersebut dilakukan karena delik-delik tersebut seringkali digunakan untuk menjerat suara kritis masyarakat.

Pertama, pasal tentang penghinaan terhadap penguasa negara yang tidak lagi relevan jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006. Pada bagian pertimbangannya, dijelaskan bahwa terkait dengan pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutannya hanya dapat dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Dengan demikian, terhadap kasus dugaan penghinaan yang dilakukan oleh LBH Padang terhadap lembaga kepolisian, maka yang berhak untuk melakukan pengaduan adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) sebagai pejabat struktural yang dimandatkan untuk memimpin lembaga tersebut.

Kedua, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE secara umum mengatur tentang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Namun, masih terdapat perdebatan terkait dengan “antargolongan” yang tidak dapat dijernihkan oleh Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017. Putusan MK a quo hanya menafsirkan frasa “antargolongan” dimaknai sejauh ia “bukan golongan yang termasuk suku, ras, dan agama”. Tidak jelasnya definisi dari frasa “antargolongan” dalam pasal a quo dapat digunakan oleh institusi atau lembaga tertentu untuk melakukan upaya pemidanaan terhadap kritik yang dilayangkan oleh masyarakat.

Upaya pemidanaan terhadap kritik dengan menggunakan pasal karet dalam UU ITE telah coba diatasi melalui Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kapolri tersebut,  meminta penyidik kepolisian mengedepankan restorative justice dalam menyelesaikan perkara. Selain hal itu, juga terdapat SKB tentang Pedoman Implementasi Pasal Tertentu dalam UU ITE, yang ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri pada tangal 23 Juni lalu. Namun, kebijakan implementasi tersebut ternyata tidak mampu menghentikan upaya pemidanaan di ruang digital.

Apa Guna SKB UU ITE?

Munculnya pedoman implementasi yang juga ditandatangani oleh dua lembaga penegak hukum ini menjadi pengakuan langsung dari  pemerintah, bahwa selama ini terdapat suatu kekeliruan ketika sebuah kasus terkait dengan UU ITE masuk ke jalur hukum.  Kepolisian dan Kejaksaan sebagai sub-bagian dari sistem peradilan  pidana (integrated criminal justice system) seringkali menggunakan  tafsir bebas terhadap nomenklatur yang terdapat pada undang-undang tersebut. Kedua lembaga penegak hukum tersebut tidak  dapat disalahkan sepenuhnya atas tindakan mereka, karena pada   dasarnya memang terdapat masalah pada beberapa pasal dalam UU   ITE.

Munculnya tafsir implementasi UU ITE merupakan langkah yang patut untuk diapresiasi. Melalui hal tersebut, masyarakat hingga aparat penegak hukum diharapkan mampu untuk melihat dan   memahami undang-undang ini secara jernih karena telah terdapat  batasan-batasan yang jelas dan dituangkan dalam tafsir implementasi tersebut. Sayangnya, pengaturan yang terdapat dalam SKB tersebut tak semanis implementasinya di lapangan.

Pendekatan upaya pemidanaan masih menjadi pilihan untuk mengatasi persoalan di ruang digital. Padahal, terdapat mekanisme lain yang bisa dijadikan alternatif penyelesaian sengketa seperti mengedepankan pendekatan integral antara pelaku, korban, dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat dalam konsep restorative justice. Apalagi, pasal yang digunakan telah coba untuk ditafsirkan melalui SKB tentang UU ITE.

Pedoman implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE a quo menjelaskan bahwa penyampaian pendapat pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, mempengaruhi, dan/atau menggerakkan masyarakat menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan isu sentimen perbedaan SARA.

Oleh karena itu, untuk memutus rantai pemidanaan di ruang digital harus dimulai dari penegak hukum yang harus memperhatikan dan menerapkan tiap peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, termasuk tafsir yang terdapat dalam putusan MK dan SKB. Kemudian, fenomena yang terjadi hari ini memperlihatkan bahwa SKB tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan di ruang digital. Untuk itu, hal yang paling tepat adalah dengan melakukan penghapusan dan penafsiran terhadap beberapa pasal multitafsir dalam UU ITE.

 

Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum – hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar