Evaluasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Guna Menjaga Kerukunan Umat Beragama

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) kembali mengeluarkan publikasi Indonesia 2023. Salah satu topik tahun ini mengangkat judul “Evaluasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Guna Menjaga Kerukunan Umat Beragama”, yang ditulis oleh Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program TII. Studi ini dilakukan dengan metodologi kualitatif dengan metode studi pustaka.

Hasil penelitian ini menunjukkan kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi persoalan di Indonesia, khususnya dalam persoalan rumah ibadah. Dimana berdasarkan pantauan media yang dilakukan The Indonesian Institute, dari periode bulan Januari sampai dengan Oktober 2023, menemukan 12 kasus terkait dengan pendirian rumah ibadah.

Padahal, kebebasan beragama dan berkeyakinan telah lama dijamin dalam konstitusi. Namun dalam konteks kebebasan pendirian rumah ibadah, penegakan terhadap konstitusi seringkali terbentur oleh aturan pelaksana, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 (PBM 2006) yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah.

Studi ini menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan, yaitu pertama, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri harus merevisi PBM 2006 terutama terkait syarat pendirian rumah ibadah. Hal ini dilakukan jika penghapusan PBM 2006 tidak dimungkinkan karena beragam faktor konten dan konteks kebijakan. Misalnya, revisi PBM 2006 dapat dilakukan terhadap aturan yang cenderung diskriminatif, seperti pada Pasal 14 ayat 2 (a) dan (b). Revisi tersebut diharapkan dapat menghapus diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah.

Kedua, mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 untuk mewujudkan pelayanan publik yang tidak diskriminatif bagi pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Ketiga, Kementerian Dalam Negeri harus dapat mensosialisasikan putusan MK tersebut secara masif kepada pemerintah daerah agar dapat menghapus praktik pelayanan publik yang diskriminatif.

Keempat, mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan rasa aman bagi seluruh pemeluk agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadah dan rumah ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini juga berlaku bagi bagi kelompok minoritas seperti Baha’i, Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism, Ahmadiyah, Syiah, serta penganut kepercayaan lokal di Indonesia.

Kelima, mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan dan toleransi terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Keenam, mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk menegakkan hukum bagi kelompok maupun individu yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk mengganggu dan merusak rumah ibadah agama dan kepercayaan di Indonesia.

Ketujuh, Kementerian Agama melibatkan kelompok masyarakat sipil, bersama organisasi keagamaan dan media massa, untuk memperkuat kampanye toleransi dan keberagaman, serta perlindungan HAM termasuk jaminan kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan. Diharapkan rekomendasi kebijakan ini dapat menjadi masukan bagi para pemangku kebijakan khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri guna memperkuat jaminan kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia.

 

Selamat membaca.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [691.73 KB]

Komentar