Dinamika Penggunaan Hak Angket Pasca Pemungutan Suara

Setelah gelombang pemungutan suara pada 14 Februari 2024, masyarakat dan peserta pemilu dibanjiri dengan berbagai hasil “quick count” dari berbagai lembaga survei dan model yang berbeda-beda. Keberagaman hasil ini menimbulkan kegaduhan politik yang semakin intens, dengan pendukung kedua kubu saling bersaing memperkuat klaim atas kemenangan. Namun, di tengah keriuhan tersebut, satu fakta tetap menonjol: pasangan nomor urut 02, yang dicalonkan oleh koalisi partai yang kuat di belakangnya, yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, muncul sebagai kandidat yang unggul.

Hasil “quick count” dari Politika Research and Consulting per 18 Februari 2024 mengungkapkan bahwa pasangan Prabowo-Gibran mampu mengamankan 58% suara. Angka ini, di tengah persaingan ketat dan proyeksi yang rumit, menjadi pijakan kuat bagi pendukung mereka yang semakin bersemangat. Namun, sorotan sebenarnya datang dari hasil “real count” yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 28 Februari 2024.

Berita dari KPU tidak hanya membenarkan dominasi Prabowo-Gibran, tetapi juga memperkuatnya. Dengan angka yang lebih tinggi, 59% suara tercatat untuk pasangan ini, sementara sebagian besar suara, yakni 77%, telah terhitung secara keseluruhan (Website KPU per 28 Februari 2024). Kemenangan ini, yang semakin nyata dengan hasil resmi KPU, memberikan pukulan telak bagi kubu lawan, sementara memicu kegembiraan dan ekspektasi yang tinggi di kalangan pendukung Prabowo-Gibran. Kemenangan ini juga memberikan sinyal kuat tentang arah politik nasional ke depan, dengan Prabowo-Gibran yang siap mengambil peran sentral dalam pemerintahan dan membawa agenda-agenda mereka ke dalam peta politik Indonesia. Dengan demikian, hasil pemilu yang menegaskan keunggulan pasangan ini tidak hanya menandai akhir dari proses pemilihan yang sengit, tetapi juga awal dari babak baru dalam dinamika politik Indonesia.

Fakta keunggulan pasangan Prabowo-Gibran dalam hasil pemilu tersebut memicu gelombang kemarahan di berbagai kalangan, terutama dari pihak lawan. Ketidakpuasan ini dipicu oleh sejumlah isu yang mencuat selama proses kampanye, yang kemudian menjadi bahan pembahasan yang memanas di tengah masyarakat. Salah satu isu yang sangat mencuat adalah terkait dugaan kecurangan yang dilakukan selama proses kampanye, seperti yang terungkap dalam film dokumenter berjudul “Dirty Votes” yang dirilis pada 11 Februari 2024. Film ini mengungkap berbagai praktik yang dianggap merugikan proses demokrasi, mulai dari politisasi bansos secara massif, pengorganisiran oleh PLT Gubernur dan Kepala Desa, hingga dugaan manipulasi pemekaran wilayah di Papua. Isu-isu ini menambah kekhawatiran akan integritas keseluruhan proses pemilihan dan memperkuat argumen para kritikus terhadap kelangsungan demokrasi.

Selain itu, ketidakpuasan juga muncul terkait dengan kinerja Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang dimiliki oleh KPU. Sejumlah pihak menduga bahwa aplikasi ini mengalami “error” dan tidak mampu memberikan hasil yang akurat sesuai dengan perhitungan yang seharusnya dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketidakpastian ini semakin menambah ketegangan di antara kedua kubu yang bersaing, dengan pendukung Prabowo-Gibran yang bersikeras bahwa hasil “quick count” dan “real count” adalah cerminan dari dukungan rakyat yang nyata, sementara pihak oposisi bersikeras untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas penuh dalam proses pemilihan yang telah dilakukan. Dengan demikian, kemenangan sementara pasangan tersebut memicu kegembiraan di kalangan pendukung mereka, tetapi juga memperdalam polarisasi politik yang ada di Indonesia, menempatkan tantangan baru bagi stabilitas politik dan tata kelola demokrasi di masa mendatang.

Berangkat dari hal tersebut, muncul diskursus soal penggunaan hak anget legislatif yang awalnya disampaikan oleh calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo (CNN Indonesia, 24/2/2024). Meskipun disampaikan dengan cukup yakin, banyak pihak yang menilai bahwa penggunaannya belum urgen. Hal ini bahkan disampaikan oleh calon wakil presidennya sendiri yaitu Mahfud MD.

PDIP sebagai partai terbesar di parlemen tidak hanya harus memperhatikan dominasi kekuatan di kubu sendiri, tetapi juga harus mengakui relevansi dari keseimbangan kekuatan di kubu lawan. Partai Golkar, bersama dengan partai lain yang mendukung Prabowo-Gibran seperti PAN, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat, memiliki suara yang signifikan, sehingga kekuatan yang dimiliki hampir seimbang dengan koalisi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Oleh karena itu, strategi politik yang bijaksana bagi PDIP adalah untuk tidak hanya fokus pada memperkuat kubu sendiri, tetapi juga mempertimbangkan dinamika kompleks dalam persaingan politik di level nasional.

Pentingnya memperhitungkan hal ini tergambar dari sejumlah peristiwa yang terjadi, seperti pertemuan antara Surya Paloh dan Jokowi pada 19 Februari 2024(Kompas, 19/2/2024), yang menunjukkan adanya upaya untuk memperkuat konsolidasi di kubu Anies Baswedan. Selain itu, pernyataan Sandiaga Uno pada 27 Februari 2024 tentang kesiapan PPP untuk memberikan dukungan kepada pemerintahan, jika dibutuhkan (Detiknews, 27/2/2024), juga menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan. Maka dari itu, bagi koalisi Anies dan Ganjar, penting untuk tidak hanya memperhitungkan kekuatan lawan yang langsung terlihat, tetapi juga memperhatikan dinamika dan kemungkinan pergeseran aliansi yang dapat mempengaruhi stabilitas politik, serta posisi dan kepentingan mereka dalam peta kekuatan politik nasional.

Selain memperhitungkan dinamika politik di level elit partai dan aliansi antarpartai, koalisi Anies dan Ganjar juga perlu memperhatikan strategi untuk membangun kekuatan massa di tingkat basis dan mengumpulkan dukungan publik dan beragam pihak terkait lainnya yang kuat untuk mendukung pelaksanaan rencana penggunaan hak angket tersebut. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan jaringan organisasi di tingkat daerah untuk melakukan mobilisasi massa dan memperluas jangkauan pesan-pesan politik yang menguatkan narasi mereka.

Selain itu, mereka juga perlu aktif berkomunikasi dengan masyarakat melalui berbagai platform, termasuk media massa, media sosial, dan pertemuan tatap muka dengan pendukung dan calon pendukung. Dalam berkomunikasi, koalisi Anies dan Ganjar harus mampu menyampaikan pesan-pesan yang relevan, jelas, dan meyakinkan mengenai alasan mengapa penggunaan hak angket tersebut penting bagi kepentingan rakyat dan negara.

Selain membangun kekuatan massa di bawah, perlu juga menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil, aktivis, dan elemen-elemen progresif lainnya yang memiliki ketertarikan dan kepedulian terhadap isu yang sedang diangkat. Dengan demikian, koalisi Anies dan Ganjar dapat memperkuat basis dukungan publiknya dan menjaga momentum politik yang diperlukan untuk berhasil dalam mengeksekusi rencana penggunaan hak angket tersebut dengan tetap objektif, berbasis kepentingan umum, dapat dibuktikan secara hukum, dan tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Felia Primaresti

Peneliti Bidang Politik

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

felia@theindonesianinstitute.com  

Komentar