Epidemik 2019-Novel Coronavirus (2019-nCoV) pneumonia, yang selanjutnya disebut Coronavirus, menimbulkan kegemparan di berbagai negara bahkan secara global. Pasalnya, di China, virus tersebut telah menelan korban jiwa sampai 563 orang dan ada 28.018 kasus Coronavirus di 31 wilayah provinsi yang telah terkonfirmasi di China (Detik, 6/2). Ancaman korban berjatuhan pun masih begitu menghantui daratan negara tersebut.
Misalnya saja, di wilayah Hubei, Wuhan, yang menjadi tempat asalnya, telah tercatat sebanyak 19.665 kasus terkonfirmasi dan 549 kematian. Bahkan, lebih dari tiga ribu orang dalam kondisi kritis. Untuk kasus pasien suspect (diduga) masih tercatat sekitar 2.702 orang. Walaupun begitu, Komisi Kesehatan setempat mengabarkan bahwa per 5 Februari waktu setempat, sebanyak 1.153 pasien Coronavirus telah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang.
Untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit, pemerintah setempat telah menghentikan operasi transportasi publik, yang akhirnya diikuti di berbagai kota di wilayah China. Bahkan, terdapat aturan pembatasan penerbangan dan karantina yang dikenakan oleh China dan berbagai negara. Sampai 25 Januari lalu, 30 provinsi di China yang melingkupi 1.3 milyar penduduk, telah menginisiasi penanganan kesehatan darurat tingkat pertama, mulai dari identifikasi awal dan isolasi pasien terduga (suspect) sampai perbekalan sumber daya medis (Xiang dkk, 2020).
Konsekuensi penjangkitan virus tersebut tentunya menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian yang mengarah pada dampak psikososial. Menilik kembali pada kasus SARS pada 2003 lalu, bahkan fase awal dari wabah tersebut mengakibatkan berbagai gangguan psikiatrik, termasuk depresi persisten, kecemasan, serangan panik, gangguan psikomotorik, gejala psikotik, delirium, dan bahkan perilaku bunuh diri (Liu TB dkk, 2003; Maunder R dkk, 2003). Pada kasus Coronavirus kini, menurut penelusuran Xiang dkk (2020), kegiatan pelacakan kontak (mandatory contact tracing) dan 14 hari karantina, telah meningkatkan kecemasan dan rasa bersalah pasien akibat penularan, karantina dan stigma terhadap keluarga maupun teman dari pasien.
Permasalahan lainnya, layanan kesehatan mental bagi pasien dan petugas kesehatan akibat dari Coronavirus belum diperhatikan serius walaupun Komisi Kesehatan Nasional China telah mengeluarkan notifikasi prinsip-prinsip dasar penanganan psikologis darurat pada 26 Januari lalu. Padahal, petugas kesehatan sangat rentan terhadap risiko penularan maupun masalah kesehatan mental, baik itu ketakutan terhadap penularan dari virus ke keluarga maupun lingkungan terdekat. Dalam sebuah riset oleh Wu P dkk (2009), misalnya, petugas kesehatan klinis yang bekerja maupun memiliki keluarga atau rekan terjangkit SARS, memiliki gejala stress pasca-trauma. Kemudian, petugas kesehatan yang bekerja pada unit SARS selama wabah tersebut menjangkit, melaporkan adanya depresi, kecemasan, ketakutan dan frustasi.
Walaupun masalah maupun gangguan kesehatan jiwa banyak ditemukan pada pasien maupun petugas kesehatan pada situasi penyakit serius, petugas kesehatan yang bekerja pada unit isolasi maupun rumah sakit tidak menerima pelatihan apapun untuk memberikan layanan kesehatan mental. Tak bisa ditampik, pada bencana biologis, berbagai ketakutan, ketidakpastian maupun stigmatisasi memang umum dan kadang kala bertindak sebagai hambatan untuk melakukan intervensi medis maupun kesehatan jiwa (Xiang dkk, 2020). Meskipun demikian, intervensi kesehatan mental harus diperhatikan segera melalui dukungan psikologis bagi pasien dan petugas kesehatan, penjabaran informasi terbaru seputar intervensi medis serta dukungan konseling bagi publik melalui teknologi informasi yang ada.
Histeria Coronavirus
Selain permasalahan kesehatan jiwa akibat Coronavirus di negara asalnya, ketakutan dan kecemasan serupa pun terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Perdebatan di media sosial timbul sebagai reaksi terhadap kemunculan penyakit tersebut. Apalagi, persebaran informasi bercampur hoax di Indonesia semakin menunjukkan situasi ketidakpastian. Misalnya saja, catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) per 3 Februari lalu, bahkan terdapat 54 hoax tentang Coronavirus.
Dalam kasus ini, reaksi ketakutan kemudian mengarah pada stigma dan diskriminasi yang tak disadari. Di berbagai negara, viral berbagai tagar di media sosial tentang Coronavirus dan mengasosiasikan kepada warga China maupun keturunannya. Misal, isi cuitan yang menyebutkan turis China “kotor” maupun “teroris biologi” (VOA Indonesia, 6/2). Karen Eggleston, Pakar Kesehatan pada Pusat Riset Asia Pasifik Shorenstein, Stanford University, menyebutkan pada sebuah wawancara bahwa hal tersebut ialah reaksi alamiah bagi orang-orang untuk menjauhkan diri dari potensi penyebab penyakit dan menjaga kesehatan masyarakat. Apalagi, dalam situasi masyarakat belum memahami tentang adanya penyembuhan yang diketahui.
Namun, dapat dilihat bahwa ketakutan yang masuk akal dan diskriminasi kadang kala sulit dibedakan. Misalnya, dalam kasus SARS, masyarakat China mengalami stigma yang berdampak ganda pada dunia kerja, sekolah, layanan kesehatan maupun kehidupan sosial. Dengan pengaruh kuat media dan ketidakberdayaan orang-orang yang distigma terkena penyakit, stigma asosiatif meluas ke berbagai wilayah, berbagai negara, bahkan kepada seluruh kelompok etnis yang dipersepsikan memiliki risiko tinggi terhadap tertularnya penyakit (Lee dkk, 2005). Konsekuensinya, orang-orang akan merespon dengan penyembunyian, penarikan diri, marah maupun memiliki gejala psikomatik.
Memang benar bahwa menjaga kesehatan masyarakat sekaligus mencegah stigmatisasi segmen masyarakat tertentu pada saat penyakit mewabah adalah sesuatu yang kompleks. Namun, dalam konteks penjangkitan penyakit, upaya mencegah ketakutan dan stigmatisasi tergantung bagaimana mengontrol dan menangani target masalah kesehatan, menekan kecenderungan seseorang menstigma yang lain, dan mendukung yang distigma dengan dukungan psikososial dan kebijakan sosial (Weiss & Ramakrishna, 2001). Kemudian, Eggleston (2020) juga menambahkan bahwa harus ada keseimbangan antara menjaga kesehatan masyarakat dan pada saat yang sama tetapi menghormati hak-hak individu, kebebasan sipil dan mengambil respons tepat.
Untuk menghadapi persebaran informasi tentang Coronavirus di Indonesia, petugas kesehatan professional harus memahami bagaimana melindungi kesehatan masyarakat dengan praktik eksklusi yang tepat sekaligus pada yang sama mencegah rasa takut, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap segmen populasi tertentu. Tujuannya tentu ialah agar tetap ada informasi yang transparan dan menghindari tindakan yang tidak proporsional maupun terlalu agresif yang mengarah pada kepanikan, distorsi maupun informasi yang salah tentang situasi yang tengah terjadi.
Indonesia bisa meniru beberapa pendekatan kebijakan berbagai negara, misalnya, pembatasan penerbangan internasional, sampai berbagai elemen institusi dan masyarakat memahami tentang sifat virus tersebut. Sebagian besar negara juga menggunakan metode yang telah diuji untuk memantau wisatawan dan memperingatkan sistem kesehatan masyarakat dengan informasi yang benar dari otoritas kesehatan terkait untuk mereduksi stigma, sembari meneliti tentang virus dan metode penanganannya. Dengan berbagai pendekatan tersebut, diharapkan upaya menghadapi Coronavirus dapat dilakukan dengan berbasis ilmu pengetahuan dan cara yang bijaksana.
Nopitri Wahyuni
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research