Berpacu dalam Pandemi

Sudah lebih dari 1,5 tahun Indonesia mengalami pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Ada banyak dampak yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, dari segi kesehatan, sosial, ekonomi, hingga psikologis. Namun, kita patut bersyukur bahwa seiring dengan perkembangan pengetahuan, teknologi, dan informasi saat ini, sudah ditemukan vaksin dengan beragam developer yang mencoba menyusunnya. Kita juga patut bersyukur dengan hadirnya pasar bebas yang membuat akses terhadap vaksin menjadi lebih meluas.

Dari segi ekonomi, banyak negara sudah luluh-lantak akibat terganggunya siklus bisnis. Namun, akhir-akhir ini tampaknya para pembuat prediksi mulai merasa optimis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2021 ini. Misalnya, International Monetary Fund (IMF) memprediksikan bahwa ekonomi dunia diperkirakan akan tumbuh 6 persen pada tahun 2021, tidak berbeda jauh dengan 4,4 persen pada tahun 2022. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global terbaru IMF itu adalah perubahan besar dari perkiraan turun 3,3 persen pada tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi COVID-19 (IMF, 2021).

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Data teranyar dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia Kuartal I-2021 terhadap Kuartal I-2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -0,74 persen (year-on-year/yoy). Kendati demikian, kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan jika dibandingkan kuartal IV-2020 di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar -2,19 persen.  Dengan demikian, agaknya pola pemulihan ekonomi Indonesia akan jauh lebih lama.

Melihat Lebih Dalam

Lantas apa saja yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia demikian? Pada Kuartal I-2021, berdasarkan sisi lapangan usaha, ada beberapa sektor yang mengalami perlambatan pertumbuhan pada Kuartal I-2021. Misalnya, transportasi dan pergudangan yang menunjukkan perlambatan sebesar 13,12 persen (yoy). Adapun terkontraksinya lapangan usaha ini disebabkan masih diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial berskala mikro dan juga penerapan protokol kesehatan yang membuat permintaan akan moda transportasi mengalami penurunan sehingga berdampak terhadap melemahnya Produk Domestik Bruto (PDB) sektor ini.

Tidak hanya itu, lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan-minum juga terkontraksi sebesar 7,26 persen (yoy). Disinyalir hal ini diakibatkan masih ditutupnya akses pintu masuk bagi para wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal yang membuat permintaan terhadap kebutuhan akomodasi dan makan-minum mengalami kelesuan. Kemudian, jasa perusahaan juga terkontraksi sebesar 6,10 persen (yoy); jasa lainnya sebesar 5,15 persen dan jasa keuangan dan asuransi sebesar 2,99 persen.

Sebaliknya, ada beberapa lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan positif, yaitu informasi dan komunikasi sebesar 8,72 persen (yoy). Hal ini disebabkan dengan kebijakan pembatasan sosial yang mengharuskan banyak perusahaan dan sekolah bekerja dari rumah, maka membuat permintaan akan kebutuhan sarana informasi dan komunikasi, seperti handphone, komputer, dan laptop, serta akses internet mengalami kenaikan yang signifikan. Selain itu, pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang juga tumbuh sebesar 5,49 persen (yoy), mengingat saat ini banyak masyarakat yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah membuat limbah domestik dan kebutuhan akan air juga turut mengalami kenaikan.

Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial juga tumbuh sebesar 3,64 persen (yoy) seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kebutuhan kesehatan yang memadai. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan juga tumbuh sebesar 2,95 persen (yoy); pengadaan listrik dan gas sebesar 1,68 persen (yoy); dan real estate sebesar 0,94 persen (yoy).

Sisi Pengeluaran

Lebih lanjut, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 menunjukkan bahwa semua komponen pengeluaran tercatat mengalami perbaikan, namun Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih membatasi pemulihan terutama di komponen konsumsi rumah tangga. Tercatat, pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2021 membaik menjadi -2,2 persen (yoy). Sementara, komponen pertumbuhan belanja pemerintah juga semakin menguat menjadi 3 persen (yoy) dari 1,8 persen (yoy) di kuartal IV-2020. Seiring dengan itu, pertumbuhan ekspor dan impor tahunan juga meningkat signifikan menjadi 6,7 persen (yoy) dan 5,3 persen (yoy) dari sebelumnya sebesar -7,2 persen (yoy) dan -13,5 persen (yoy) di kuartal IV-2020.

Lebih lanjut, struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut pengeluaran atas dasar harga berlaku kuartal I-2021 tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh komponen konsumsi rumah tangga yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia, yaitu sebesar 56,93 persen; diikuti oleh komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 31,98 persen; komponen ekspor barang dan jasa sebesar 19,18 persen; komponen pengeluaran belanja pemerintah sebesar 6,70 persen; komponen Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) sebesar 1,23 persen; dan komponen perubahan inventori sebesar 2,76 persen. Sementara itu, komponen impor barang dan jasa sebagai faktor pengurangan dalam PDB memiliki peran sebesar 18,09 persen.

Berpacu dalam Pandemi

Melihat kondisi ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2021 ini pemerintah harus segera berpacu lebih keras untuk membalikkan keadaan. Hal ini menjadi semakin sulit melihat kondisi kasus COVID-19 di Indonesia yang semakin meninggi. Untuk itu diperlukan usaha extraordinary dari pemerintah. Salah satu upaya yang harus terus dilakukan pemerintah adalah dengan terus mendorong percepatan vaksinisasi untuk mencapai target herd immunity.

Kemudian, pemerintah juga harus bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk terus menegakkan protokol kesehatan di daerahnya masing-masing. Penegakan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis mikro perlu diketatkan kembali oleh pemerintah daerah khususnya yang berada di zona merah. Namun, karena kebijakan ini sudah berjalan lama tentunya harus ada perbaikan dan evaluasi dari pelaksanaan sebelumnya supaya tidak menimbulkan gesekan di masyarakat, khususnya kepada kelas menengah ke bawah yang sering kali mengalami bias kebijakan.

Selain itu, percepatan realisasi belanja pemerintah juga menjadi kian penting untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, mengingat saat ini hanya komponen pengeluaran pemerintah yang masih dapat diandalkan jika dibandingkan dengan komponen lainnya dari sisi pengeluaran. Terakhir, perlu perubahan strategi ekspor di tengah perlambatan permintaan dunia, maupun ketidakpastian perekonomian global dan pengembangan ekonomi regional, khususnya di luar Jawa agar terjadi pemerataan.

Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar