Secara konstitusional, memang benar bahwa bela negara termasuk salah satu pilar kita dalam bernegara. Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 30 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Amanat konstitusi tersebut berusaha diwujudkan oleh Pemerintah melalui program pelatihan bela negara yang akan dilaksanakan mulai tahun ini. Melaui program ini Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu, mengharapkan dalam 10 tahun ke depan dapat menghasilkan 100 juta kader bela negara. Tugas kader bela negara ini ialah untuk melakukan fungsi pertahanan negara ketika mendapat ancaman nyata ataupun tak nyata. Ancaman nyata menurut Ryamizard bagi Indonesia antara lain terorisme, bencana alam, wabah penyakit, ancaman cyber, dan narkoba. Sementara ancaman yang belum nyata adalah perang antar negara.
Sebelum bicara lebih jauh soal relevansi dan urgensi program bela negara yang selama ini banyak diperdebatkan, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bela negara dan apa yang dikehendaki dari upaya bela negara dalam konstitusi. Seluruh bangsa Indonesia pastinya memahami bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan telah mengorbankan baik jiwa, raga, harta dan tenaga yang tak tergantikan. Walaupun dengan persenjataan yang sederhana, namun dilandasi oleh jiwa dan semangat perjuangan, perjuangan bangsa Indonesia berhasil mengantarkan rakyat Indonesia pada kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Akan tetapi kemerdekaan bukanlah tujuan akhir melainkan hanya sebagai perantara untuk mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Untuk mencapai masyarakat adil dan makmur tentu diperlukan adanya berbagai potensi dan partisipasi dari seluruh aspek kehidupan yang akan dapat menjamin kelangsungan dan keselamatan serta keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Salah satunya melalui upaya bela negara yang secara konstitusional menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia. Dengan demikian bela negara tidak serta merta ditafsirkan hanya dalam konteks perang, tetapi juga diarahkan sebagai upaya bersama-sama mewujudkan tujuan dan cita nasional sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945.
Berkaitan dengan soal bagaimana dan dengan cara apa warga negara Indonesia dapat melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang (UU). Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan (UU Pertahanan) keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui: (a) pendidikan kewarganegaraan; (b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; (c) pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan (d) pengabdian sesuai dengan profesi.
Selain itu dalam kerangka hukum UU Pertahanan, bela negara digolongkan menjadi 2 bentuk yaitu bela negara fisik dan non fisik. Bela negara fisik adalah bagi warga negara yang langsung maju perang dengan memanggul senjata. Sedangkan bela negara non fisik adalah bela negara yang dilakukan oleh warga negara yang tidak langsung maju perang dengan angkat senjata, tetapi dilaksanakan melalui pendidikan kewarganegaraan dan pengabdian sesuai dengan profesinya masing-masing.
Menurut penulis tujuan Pemerintah yang hendak dicapai melalui program pelatihan bela negara ini masih bias. Apakah untuk membentuk kekuatan pertahanan ataukah membangun nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Di satu sisi Pemerintah mentargetkan 100 juta kader bela negara dalam 10 tahun. Kader bela negara seperti apa yang dimaksud dan bagaimana statusnya? Apakah kader bela negara tersebut selanjutnya akan menjadi rakyat terlatih (Ratih) sebagai komponen dasar, cadangan Tentara Indonesia (Cad.TNI) sebagai komponen utama ataukah sebagai komponen pendukung? Apabila memang ditujukan untuk membentuk Ratih, Cad. TNI sebagai komponen utama atau komponen pendukung tentu pelatihan bela negara yang bentuknya hanya pembinaan selama satu bulan ini tidak relevan.
Di sisi lain Pemerintah mengatakan bahwa pelatihan bela negara ini ditujukan untuk menumbuhkan nilai-nilai dasar, yaitu rasa cinta tanah air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, serta memiliki kemampuan awal bela negara fisik dan nonfisik. Namun penulis juga tidak yakin ini bisa dibentuk hanya dalam waktu 1 bulan pembinaan. Selain tumpang tindih dengan peran institusi lain yang juga memiliki program-program seperti pendidikan karakter nasionalis atau patriotis, anti narkoba atau anti terorisme anak bangsa, program pelatihan bela negara ini lagi-lagi hanya akan menghambur-hamburkan anggaran.
Penulis sepakat dengan Yudi Latif, bahwa model bela negara harus disesuaikan dengan ancaman yang akan dan sedang dihadapi Indonesia saat ini. Menurut Yudi Latif sebagaimana di kutip oleh Kompas.com, 22 Oktober 2015, ancaman keamanan bangsa kini bukan lagi berbentuk militer, melainkan dimensi kecerdasan, seperti pangan, energi, ekonomi, politik serta penegakan hukum. Sehingga, bela negara yang perlu diwujudkan adalah bela negara untuk menumbuhkan nasionalisme positif. Nasionalisme positif adalah tekad untuk membangun bangsa dengan kemampuan yang dimiliki. Upaya itu berbeda dengan nasionalisme negatif atau defensif yang dilandaskan keinginan melawan ancaman dari luar.
Terlepas dari perdebatan soal bela negara, problem mendasar bangsa ini adalah keteladanan. Ketika rakyat diwajibkan untuk bela negara sementara negara dalam hal ini Pemerintah tidak pernah menunjukkan sikap pembelaannya terhadap rakyat, tentu program pelatihan bela negara ini akan dianggap sebagai sesuatu yang lucu.
Bela negara yang sesungguhnya adalah ketika negara berani memberantas korupsi dan segala bentuk pengkhianatan terhadap uang rakyat. Bela negara sesungguhnya adalah ketika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu sehingga rakyat tidak kehilangan tempat dimana mereka mencari keadilan. Bela negara adalah ketika negara melindungi rakyat dari kelaparan dan kemiskinan.
Lagi pula program pelatihan bela negara tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah rendahnya moral, hilangnya nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Banyak rakyat yang tidak dididik tentang nasionalisme dan nilai-nilai dasar cinta tanah air, rela mati demi mempertahankan kedaulatan negara atas tanah dan airnya dari penambang-penambang ilegal. Salim Kancil salah satu contohnya. Sedangkan TNI dan aparat keamanan lainnya yang dididik tentang arti nasionalisme dan cinta tanah air justru malah terlibat sebagai pelaku kekerasan dalam berbagai konflik, konflik agraria misalnya.
Ini merupakan bukti bahwa kecintaan kita terhadap tanah air bukanlah sesuatu yang bisa ditumbuhkan hanya dengan mendengarkan ceramah tentang nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Tetapi kehadirannya harus dibuktikan, dilakukan dengan tindakan nyata, baik oleh rakyat maupun negara.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com