Dimulainya pemerintahan yang baru pada Minggu (20/10) kemarin tidak bisa dilepaskan dari momen elektoral yang mendahuluinya. Di masa elektoral tersebut, perdebatan begitu intens dan masuk ke berbagai ranah termasuk media sosial. Perbincangan di ruang media sosial kala itu kian hangat dengan kehadiran pendengung yang saling melempar argumentasi, yang tak jarang dibalut oleh disinformasi dan misinformasi.
Kehadiran pendengung (sebutan lain buzzer) politik di media sosial nyatanya tidak berhenti setelah pemilihan umum (pemilu) selesai dilakukan. Dalam beberapa kesempatan terakhir, pergerakan para pendistorsi informasi ini muncul kembali. Mereka menanggapi berbagai fenomena yang terjadi di negara ini, mulai dari isu demonstrasi, indikasi adanya pemahaman radikal di tubuh lembaga negara, kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto, hingga diangkatnya kembali kasus buku merah oleh oleh beberapa media massa yang berkolaborasi dalam platform IndonesiaLeaks.
Skema pertarungan wacana para pendengung yang berkeliaran dalam media sosial kini mengalami perubahan. Setelah sebelumnya yang saling berhadapan adalah pendengung dari masing-masing kandidat presiden dan wakilnya, kini perdebatan yang terbangun lebih diantara pendengung yang ‘pro’ dengan aksi dan kebijakan pemerintah dengan kelompok masyarakat yang berusaha mengkritisi langkah-langkah pemerintah. Di luar dua kubu tersebut, terdapat juga pendengung dari kelompok lain yang berupaya menunggangi isu dengan narasi seperti menurunkan pimpinan pemerintahan.
Ada kesamaan dari skema pertarungan wacana yang terjadi baik saat pemilu maupun sesudahnya: bahwa ruang di media sosial diperebutkan dengan cara mendominasinya melalui narasi tertentu. Ruang dialektis senyatanya memang diperlukan untuk menjaga iklim demokrasi, akan tetapi muatan-muatan disinformasi dan misinformasi buatan pendengung yang sering ditemukan di dalam arus komunikasi media sosial justru mengancam marwah demokrasi itu sendiri. Sebab, apa yang disemburkan di dunia maya pada derajat tertentu memiliki implikasinya pula pada dunia riil kita.
Beberapa Ancaman dari Hadirnya Pendengung
Terdapat beberapa poin dari pendengung yang mengancam demokrasi. Pertama, pendengung seringkali menyisipkan pandangan pribadinya dalam mengamplifikasi suatu pesan (Dalimunthe, 2019), situasi tersebut lantas berpotensi mengaburkan fakta yang terkandung dalam suatu informasi. Di sisi lain, era post-truth membuat konsumen lebih bisa menerima suatu informasi yang sesuai dengan selera, dibandingkan menerima fakta yang ada di informasi tersebut.
Poin kedua. Persebaran narasi oleh pendengung di media sosial dilakukan secara terstruktur. Beberapa temuan dari ahli Big Data, Ismail Fahmi dalam rangkaian kejadian aksi masyarakat sipil berhasil mengidentifikasi bahwa gerak pendengung bersifat sistematis. Mulai dari isu pergerakan #GejayanMemanggil yang hendak ditunggangi pihak lain, hingga isu penemuan batu di dalam mobil ambulans. Dari dua contoh tersebut ada sebuah distingsi yang terlihat: jejaring komunikasi yang dihasilkan oleh pendengung di media sosial membentuk pola relasi yang sistematis, manakala perbincangan organik dari warganet lainnya memiliki pola relasi yang cenderung sporadis. Tentu jika dibiarkan, jumlah ekspos narasi dari pendengung bisa lantas menguasai perbincangan yang ada di media sosial.
Poin ketiga masih bertautan dengan poin sebelumnya. Dengan adanya pergerakan yang sistematis, proses artikulasi kepentingan dari masyarakat yang seharusnya terjadi secara organik menjadi terhalang. Kegelisahan yang dinarasikan di media sosial pada akhirnya patut dipertanyakan, karena kemunculannya sangat mungkin sengaja dikreasikan oleh kalangan tertentu.
Pentingnya Resistensi
Dalam menghadapi hal tersebut, beberapa cara bisa dan mungkin sudah dilakukan oleh warganet. Tapi poin mengupayakan perlawanan tetap saja penting disuarakan agar semakin banyak pegiat media sosial yang mendapatkan literasi informasi secara baik.
Salah satu cara yang bisa dilakukan dan sangat lazim ditemukan adalah dengan mengkritisi narasi pendengung dengan argumentasi yang logis. Tujuan untuk mendominasi ruang perbincangan ditantang oleh narasi lain, membuka ruang diskusi yang pada akhirnya menyajikan ragam pandangan bagi publik dunia maya. Tantangan dari cara ini adalah soal kuantitas, di mana para pendengung memiliki kelebihan di soal jumlahnya dalam suatu kelompok serta keterjangkauannya dalam menyampaikan informasi.
Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah dengan meninggalkan narasi buatan pendengung. Tidak tersedianya ‘panggung’ bagi para pendengung untuk mengamplifikasi dan membincangkan pesannya akan mengerdilkan signifikansi muatan informasi yang dibawa oleh pendengung tersebut. Membuat narasi lain yang sama sekali tidak bersentuhan, namun kontra dengan narasi pendengung dapat dilakukan. Walaupun memang, upaya ini tidak mengonfrontasi secara langsung narasi yang dibuat oleh pendengung.
Rifqi Rachman, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research