Awan dan Potret Kemiskinan Perkotaan

Usmanto (43) membanting anaknya, K (11), yang dikenal sebagai Awan hingga tewas di gang Jalan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (13/12/2023). Meski memiliki keterbatasan fisik, Awan dikenal sangat aktif dan gampang bergaul dengan warga setempat. Bahkan, Awan berinisiatif mencari uang untuk sang ibu. “Wah aktif banget dia. Jadi, dia ini kayak ‘tulang punggung keluarga’. Maksudnya, dia mau bekerja untuk membantu keluarganya,” kata Haria  istri ketua Rt 22 Rw 17 Kelurahan Penjaringan (Kompas/14/12/2023).

Haria juga mengungkapkan bahwa Awan sebelumnya bersekolah namun terputus karena keterbatasan berbicara. Saat Awan masih berusia delapan bulan dan tengah belajar jalan, anak ketiga dari empat bersaudara itu tersiram air panas. Musibah tersebut membuat K alias Awan harus menjalani perawatan kurang lebih satu tahun. Setelahnya, Awan pernah menjalani terapi berbicara. Namun, hasilnya tidak memuaskan sehingga Awan kesulitan berinteraksi secara verbal dengan orang lain. Ayahnya pun yang merupakan pelaku penganiayaan diduga merupakan pecandu narkoba yang saat kejadian terbangun karena adanya suara gaduh tetangga akibat menasehati Awan yang tidak sengaja menabrak anak tetangga. Pelaku dinilai tidak memiliki kemampuan menghadapi situasi dengan tenang sehingga menyebabkan Awan tidak lagi bernyawa (Kompas, 14/12/2023).

Kasus Awan sebagai korban kekerasan terhadap anak di Penjaringan Jakarta Utara, hanya satu di antara sekian banyak cerita kekerasan yang terjadi di wilayah perkotaan. Awan sebagai anak dengan penyandang disabilitas yang putus sekolah akibat keterbatasan bicara dan hidup dalam situasi kepadatan penduduk adalah potret bahwa kemiskinan perkotaan dapat menjadi faktor pendukung dari adanya tindak kekerasan. Rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga yang tinggal bersamaan dengan profil ekonomi masyarakat yang relatif merata menjadi bentuk ketimpangan pendapatan masyarakat kampung kota yang berdampak dalam hal pengasuhan anak.

Kepadatan pemukiman penduduk erat dengan kemiskinan. Menurut BPS jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2021 mencapai 10,61 juta jiwa dibandingkan luas wilayahnya 664,01 km persegi. Ini artinya kepadatan penduduk DKI Jakarta 15.978 jiwa/km persegi atau tiap 1 km persegi dihuni oleh hampir 16 ribu jiwa (CNBCIndonesia.com,17/4/2023). Begitupula dengan angka kemiskinan dimana BPS mencatat, persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sebesar 4,69% per Maret 2022. Angka ini naik 0,02 poin dibandingkan September 2021 yang sebesar 4,67% (Katadata.co.id, 21/7/2022).

Pengasuhan anak dalam lingkungan masyarakat yang relatif beragam secara ekonomi dan sosiodemografis di wilayah padat penduduk tentunya memiliki cara pengasuhan tersendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh  Reneta Kristiani dkk (2021) tentang Gambaran Pola Pengasuhan, Disiplin, dan Komunikasi Orangtua Terhadap Remaja di Kawasan Kumuh Penjaringan menyimpulkan bahwa sebagian besar partisipan mengalami kesulitan menjalani perannya sebagai orangtua. Mereka tidak tahu bagaimana cara terbaik menghadapi anak mereka. Hal tersebut disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi, beban pekerjaan rumah tangga, serta komunikasi yang kurang lancar dengan suami. Sebagian besar orangtua pada penelitian ini cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendisiplinkan anak mereka, seperti mengancam, menegur dengan keras, menggunakan kata-kata kasar, memberi label negatif pada anak, menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalan, serta memukul.

Lebih lanjut, anak yang hidup dalam pemukiman padat penduduk di perkotaan cenderung tidak memperoleh hak sepenuhnya sebagai anak. Pada konteks ini meskipun Awan merupakan seorang anak penyandang disabilitas dan pernah disekolahkan di sekolah luar biasa (lembaga pendidikan anak dengan berkebutuhan khusus) namun orangtua telah mengabaikan haknya untuk mendapatkan pendidikan kembali dengan alasan jarak sekolah yang cukup jauh dan ketidakmampuan orangtuanya untuk mengantar jemput. Ketiadaan sumber dan akses lah yang pada akhirnya membatasi Awan untuk memperoleh hak pendidikannya.

Tewasnya Awan di tangan ayahnya karena terganggu oleh nasihat tetangga untuk bermain sepeda dengan hati-hati  dapat menjadi indikasi rendahnya pengendalian diri sang ayah. Hal ini dapat dipahami bahwa masyarakat yang hidup di lingkungan pemukiman padat penduduk tidak akan lepas dari perasaan ketersinggungan, rendah diri, tidak berdaya dan lain-lain. Beragam emosi negatif tersebut yang kemudian melebur sehingga menumpahkannya pada anak yang memang telah dilemahkan secara posisi. Oleh sebab itu boleh jadi tindak kekerasan sang ayah merupakan bentuk titik puncak kekesalan atas situasi ketidakberuntungan yang menimpanya sebagai kepala keluarga.

Kasus kekerasan yang menimpa Awan dapat memberikan pembelajaran bermakna kepada pemerintah termasuk seluruh masyarakat. Pada konteks pemenuhan kesejahteraan baik dalam bidang pendidikan maupun penyaluran bantuan sosial, pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini hendaklah memastikan pemenuhan kebutuhan seluruh masyarakat dapat dengan mudah diidentifikasi melalui pendataan warga yang dapat dilakukan setingkat RT/RW. Sistem Carik Jakarta sebagai sistem pendataan keluarga berbasis digital yang telah dilaksanakan sejak tahun 2019 seharusnya sudah mengakomodasi kebutuhan keluarga pra sejahtera seperti keluarga Awan. Selain itu, masyarakat hendaknya mampu merespon setiap kejadian yang menimpa anak-anak dengan bijak. Konflik interaksi yang melibatkan antar sesama anak di lingkungan masyarakat hendaknya menggunakan pendekatan musyawarah yang masih mengutamakan nilai-nilai kekerabatan.

Terakhir, meskipun perkampungan kota masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, namun dalam upaya peningkatan pemerataan kesejahteraan, pemerintah melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta (DPRKP), dapat memulainya dengan membangun tata pemukiman masyarakat yang lebih layak.

 

Dewi Rahmawati Nur Aulia

Peneliti Bidang Sosial

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

dewi@theindonesianinstitute.com

Komentar