Manajemen rumah sakit dapat meminjam uang ke perbankan untuk mengatasi tunggakan pembayaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) demi menjaga mutu layanan.
Langkah tersebut memungkinkan dilakukan atau tidak merugikan, mengingat BPJS Kesehatan memiliki kewajiban membayar denda 1,0 persen dari total tagihan jika menunggak pembayaran ke pihak ketiga (rumah sakit).
“Sebenarnya di tengah persoalan tunggakan ini, rumah sakit itu untung jika meminjam ke bank karena bunga bank itu akan tertutupi oleh pembayaran denda BPJS Kesehatan,” kata Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Provinsi Sumatera Selatan, Mohammad Syahrir, dalam sebuah seminar nasional, di Palembang, Rabu (24/7).
Menurutnya, manajemen rumah sakit dipastikan tidak akan kesulitan mendapatan bank yang akan meminjamkan dana tersebut mengingat BPJS Kesehatan akan membayar tunggakan tersebut. “Sekarang malah bank rebutan untuk kasih pinjaman ke rumah sakit,” kata Mohammad Syahrir, yang juga Direktur Utama Rumah Sakit Dr Mohammad Hoesin itu.
Di RSMH sendiri, kata dia, tunggakan BPJS Kesehatan sebesar 40 miliar rupiah untuk satu bulan, yakni Juli 2019. RS milik pemerintah yang pasiennya 95 persen merupakan peserta BPJS Kesehatan itu, hingga kini masih tetap bisa melayani pasien seperti biasa.
Namun, lanjutnya, bagi rumah sakit yang talangan dananya tidak seperti RSMH dipastikan akan mengalami masalah karena sudah mengeluarkan dana untuk berbagai pembayaran, seperti sumber daya manusia dan pembelian obat.
Persi mencatat BPJS Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit (RS) mitra 6,5 triliun rupiah per 14 Juli 2019. Di lain pihak, BPJS Kesehatan mengaku terlambat membayar klaim pelayanan kesehatan ke RS mitra hingga obat-obatan karena tidak memiliki dana atau anggaran yang cukup atau defisit.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Vunny Wijaya, mengatakan kenaikan premi dapat mengatasi defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan. Menurutnya, premi di BPJS Kesehatan masih tergolong rendah.
Ia mengharapkan pemerintah pusat agar mempertimbangkan kenaikan premi bagi peserta non-Penerima Bantuan Iuran (non-PBI) yang membayar secara mandiri.
Vunny menyebut bahwa defisit BPJS Kesehatan tidak hanya dialami Indonesia, tapi negara seperti Taiwan juga mengalaminya. Dua negara memiliki penyebab yang sama dengan jumlah pasien penyakit berat terus bertambah. Langkah yang dapat diambil, kata dia, yaitu menaikkan premi secara berkala.
Tindakan Kecurangan
Sementara itu, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zainal Abidin, berpendapat perlu ada standar tersendiri untuk mengklasifikasikan tindakan kecurangan atau fraud dalam program Jaminan Kesehatan Nasional agar pencegahan bisa dilakukan maksimal.
Menurutnya, regulasi yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan tentang pencegahan kecurangan dalam implementasinya, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan terdapat kendala di lapangan sehingga tidak optimal.
Kendala tersebut mulai dari yang belum membentuk tim pencegahan kecurangan, sudah ada tim tapi tidak memiliki pedoman kebijakan, atau yang sudah punya pedoman dan kebijakan namun tidak bisa diimplementasikan.
“Dari catatan saya, kalau standarnya belum ada juga walaupun pedoman itu ada, sulit diimplementasikan,” kata Zainal.
Menurut Zainal, implementasi regulasi tentang pencegahan dan penindakan atas kecurangan JKN menjadi tidak optimal karena tidak adanya standar baku tentang klasifikasi kecurangan JKN seperti apa yang dimaksud.
Sumber: Koranjakarta