Anies dan Kaesang: Duet Serius atau Sekadar Hiburan?

Pilkada 2024 semakin dekat, membawa diskursus menarik seputar calon yang akan maju, partai pengusung, dan bagaimana peraturan akan diterapkan. Dalam dinamika ini, keluarga elit tak luput dari sorotan, termasuk rencana Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang, dengan latar belakang bisnis, tampaknya siap membawa sentuhan baru ke panggung politik, yang dalam kehadirannya memberi warna atau justru menambah kontroversi yang ada. Pernyataan ini bukan tanpa alasan, terutama semenjak putusan kontroversial Nomor 23 P/HUM/2024 terkait syarat usia calon kepala daerah, yang digadang-gadang akan membuat jalan Kaesang dalam Pilkada semakin mulus.

Tak berhenti sampai di situ, baru-baru ini muncul wacana baru mengenai pasangan Anies Baswedan-Kaesang Pangarep untuk Pilkada DKI Jakarta. Hal ini tentu membuat sebagian orang kaget, sementara beberapa lainnya tertawa. Betapa tidak, ingatan masyarakat tentang Anies Baswedan masih sangat lekat dengan Pilpres 2024, di mana dirinya membawa ide perubahan dan sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Di sisi lain, Kaesang dan partainya, PSI, adalah bagian dari hegemoni kekuasaan saat ini. Kehebohan ini kemudian dikonfirmasi oleh Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS DKI Jakarta, Khoirudin, yang menyebut bahwa pihaknya akan segera melakukan pertemuan dengan jajaran PSI (Kompas.com, 13/6/2024).

Kita bisa saja mengatakan bahwa hal tersebut sah secara konstitusional. Masalahnya, dalam konteks wacana mengenai pasangan Anies Baswedan dan Kaesang Pangarep untuk Pilkada DKI Jakarta, pragmatisme politik dapat membawa sejumlah dampak buruk bagi masyarakat maupun bagi kehidupan berdemokrasi secara umum. Masyarakat bisa saja merasa bingung dan skeptis dengan koalisi ini, mengingat perbedaan ideologi yang mencolok antara Anies dan Kaesang. Koalisi semacam ini dapat berpotensi mengorbankan prinsip demi keuntungan politik jangka pendek.

Selain itu, koalisi antara Anies dan Kaesang juga dapat dilihat sebagai pengabaian prinsip dan ideologi yang mereka anut. Anies, yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah, dan seringkali diusung oleh partai-partai oposisi, mungkin harus mengkompromikan nilai-nilainya untuk bekerja sama dengan Kaesang yang lebih dekat dengan kekuasaan. Hal ini bisa mengakibatkan inkonsistensi dalam setiap proses kebijakan.

Hal lain yang mungkin terjadi adalah bahwa hal ini dapat membawa dampak jangka panjang yang signifikan terhadap demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, koalisi ini mungkin memperlihatkan fleksibilitas politik dan kemampuan untuk mencapai kompromi demi kepentingan bersama, yang merupakan aspek penting dari demokrasi yang sehat. Namun, di sisi lain, koalisi yang tampak pragmatis dan oportunistik dapat menimbulkan kekhawatiran tentang kemurnian ideologi dan prinsip-prinsip demokratis. Jika tokoh-tokoh politik terlalu sering mengesampingkan nilai-nilai inti mereka demi keuntungan politik jangka pendek, hal ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem politik dan para pemimpinnya. Masyarakat bisa menjadi lebih skeptis dan sinis terhadap proses politik, yang pada akhirnya melemahkan partisipasi demokratis dan meningkatkan apati politik.

Selain itu, koalisi semacam ini juga bisa memperdalam polarisasi politik di kalangan masyarakat. Basis pendukung dari masing-masing tokoh yang memiliki pandangan ideologis berbeda mungkin merasa dikhianati atau bingung oleh langkah-langkah politik yang bertentangan dengan ekspektasi mereka. Ketidakpuasan ini bisa memicu ketegangan sosial dan memperburuk perpecahan yang sudah ada, sehingga menciptakan lingkungan politik yang semakin terfragmentasi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menghambat pembangunan konsensus nasional dan memperlambat proses pengambilan keputusan yang efektif dan inklusif. Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin politik untuk mempertimbangkan dampak luas dari koalisi pragmatis terhadap kesehatan demokrasi dan kohesi sosial di Indonesia.

Oleh karena itu, para pemimpin politik juga harus berupaya menjaga keseimbangan antara pragmatisme politik dan prinsip-prinsip demokrasi untuk memastikan masa depan politik yang stabil dan inklusif, serta demokrasi yang sebenarnya dan bermakna di Indonesia.

 

Felia Primaresti
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
felia@theindonesianinstitute.com

Komentar